Oleh Dr. ROHMAT MULYANA
Pengalaman meneliti pada kalangan dosen PTAIN yang belum menggembirakan sebenarnya menjadi citra negatif bagi kalangan akademisi. Dunia kampus yang seharusnya menjadi pusat keunggulan (center of excellence) pengembangan ilmu pengetahuan terjebak rutinitas transformasi ilmu pengetahuan teoretis yang kurang fungsional. Ilmu pengetahuan diusung sebagai wacana yang kurang terajut baik dengan pemaknaan realitas yang berkembang.
BAGI perguruan tinggi (PT) terkemuka dunia, riset menjadi pilar utama peningkatan kualitas lembaga PT. Tradisi penelitian bagi mereka menjadi suatu yang tidak terpisahkan dari kebijakan akademik kampus yang berbasis informasi dan data hasil riset. Pada PT jenis ini, siklus penelitian dan pengembangan atau lebih dikenal sebagai R & D menjadi akar rumput pengembangan akademik yang menyatu dengan kultur kampus.
Berbeda dari keadaan tersebut, mayoritas perguruan tinggi kita, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), kultur penelitian tampaknya belum menjadi virus epidemik yang menularkan esprit d'crops penelitian sebagai semangat massal civitas kampus. Hasil telaah Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan terhadap 353 dosen PTAIN menunjukkan, semangat riset di kalangan dosen ternyata masih rendah. Dari jumlah tersebut, hanya terdapat 21,5% dosen yang melakukan penelitian secara serius dan berkelanjutan. Ini artinya, 2 orang dari 10 dosen PTAIN terbiasa melakukan riset untuk kebutuhan pengembangan profesinya, sedangkan yang lainnya diprediksi masih terjebak oleh budaya ilmu pengetahuan sebagai wacana.
Pengalaman meneliti pada kalangan dosen PTAIN yang belum menggembirakan sebenarnya menjadi citra negatif bagi kalangan akademisi. Dunia kampus yang seharusnya menjadi pusat keunggulan (center of excellence) pengembangan ilmu pengetahuan terjebak rutinitas transformasi ilmu pengetahuan teoretis yang kurang fungsional. Ilmu pengetahuan diusung sebagai wacana yang kurang terajut baik dengan pemaknaan realitas yang berkembang. Akibatnya, hikmah sebagai nilai intrinsik khazanah ilmu yang potensial muncul dari perpaduan makna teori dan praktik menjadi kurang dirasakan kalangan akademisi.
Sebuah iklan televisi yang berbunyi, "Ah, teori!" tampaknya relevan dengan keadaan ini. Begitu juga sebuah analogi gunung es dari Hasan Langgulung dapat mewakili wacana akademik yang terjadi selama ini. Bagi Langgulung, pengembangan ilmu pengetahuan minus riset empiris ibarat mengembangkan ilmu pada bagian ujung tungkul bawah gunung es (under tip of iceberg). Pada bagian ini, prinsip, dalil, atau teori ilmu pengetahuan dapat berkembang, tetapi wacana pemanfaatan praktis yang berhubungan dengan realitas sosial seperti yang ia ibaratkan sebagai ujung tungkul atas gunung es (upper tip of iceberg) kurang terselesaikan dengan baik.
Perhatian yang demikian intensif terhadap wilayah ilmu pengetahuan normatif telah menyebabkan keterisolasian dunia kampus dari dinamika sosial dan perkembangan teknologi. Kampus kalah bersaing dengan konsistensi perubahan dunia luar yang secara perlahan mengooptasi wibawa kaum akademisi. Begitu juga, ruang kuliah menjadi ibarat pulau terasing yang penghuninya tidak mengenal dekat tuntutan dunia kerja dan relung perkembangan zaman di luar sana. Semua ini tiada lain sebagai akibat kurang intensifnya peranan riset empirik dalam membangun konstruksi ilmu pengetahuan di dunia kampus.
Sebab itu, tidaklah heran kalau kemudian tradisi riset di kalangan mahasiswa juga kurang bergairah. Duplikasi dan replikasi penulisan topik-topik skripsi kerap ditemukan dalam tugas akhir mahasiswa. Mereka seolah kebingungan menentukan apa yang semestinya ditulis karena perkuliahan metode riset sekalipun kurang merangsang pemikiran ke arah pengenalan isu-isu sosial dan pemecahannya secara kritis. Seringkali, saat mahasiswa mulai menulis skripsi, mereka terjebak pada perumusan judul, yang sebenarnya tidak lebih penting daripada perumusan masalah yang akan diteliti.
Budaya riset empiris yang kurang berkembang di kalangan dosen PTAIN juga dapat menghambat produktivitas karya tulis ilmiah mereka. Alih-alih penulisan buku, artikel, atau makalah terus dilakukan, karya tulis mereka menjadi kurang menggigit apabila tidak dilengkapi data dan informasi hasil telaahan. Hubungan pengalaman riset dengan tingkat produktivitas karya tulis dosen ini ternyata terbukti linier dan signifikan. Hasil riset Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan menunjukkan bahwa tingkat korelasi keduanya sangat signifikan (r = 0,67) pada tingkat kepercayaan p lebih kecil dari 0.001.Dengan kata lain, semakin miskin pengalaman meneliti, semakin sedikit pula produktivitas karya tulis ilmiah dosen PTAIN yang terpublikasi secara luas.
Mengomentari kurang bergairahnya mayoritas dosen dalam melakukan penelitian, seorang mantan Kapala Puslit sebuah PTAIN sempat berkomentar tentang fenomena kenaikan pangkat dosen yang pada umumnya lancar-lancar saja. Padahal dalam pandangannya, penelitian merupakan bagian Tri Darma PT yang menjadi salah satu komponen penting penghitungan kum kenaikan pangkat. "Kapan yah mereka melakukan penelitian?" tanya dia sambil bergurau.
Fenomena kelesuan riset tersebut sebenarnya dapat diatasi setidaknya melalui tiga strategi berikut. Pertama, suatu PTAIN dapat meningkatkan anggaran riset mendekati jumlah anggaran untuk pendidikan dan pengajaran. Kalau perlu, berikan reward atau apresiasi bagi para dosen peneliti terbaik. Kedua, jadikan riset sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam membangun kultur akademik kampus. Penciptaan kultur penelitian ini dapat dimulai dari praktik penelitian tindakan kelas (classroom action research) di kalangan dosen dan penelitian kecil-kecilan oleh mahasiswa. Ketiga, buka jaringan kerja sama penelitian dengan lembaga-lembaga penelitian lainnya. Puslit atau Lemlit PTAIN dalam hal ini dapat lebih berkompeten untuk secara proaktif menjemput kesempatan kerja sama penelitian yang tentunya dengan pertaruhan kualitas.
Jika tiga strategi tersebut dilakukan secara sinergis oleh semua pihak, budaya pemahaman ilmu sebagai wacana dapat dikurangi. Celah pemahaman antara teori dan praktik dapat dipersempit, dan pikiran-pikiran common sense dapat dihindari. Akhirnya, kita tentu berharap citra PTAIN sebagai research-based university dapat menjadi kenyataan. Wallahu a'lam bisshawab.***