Monday, August 9, 2010

Mutiara Pendidikan Sejati dari MAN Insan Cendikia Gorontalo

Saat pertama kali menginjakan kaki di pelataran MAN Insan Cendikia Gorontalo, bangunan lembaga pendidikan ini tampaknya biasa-biasa saja, tidak jauh beda dari bagunan madrasah unggul lainnya yang tersebar di sejumlah peloksok Indonesia. Bahkan kalau dibandingkan dengan lembaga pendidikan unggul sejenis di luar negeri dapat dikatakan infrastruktur fisik MAN Insan Cendikia Gorontalo kalah megah. Namun di balik itu, ternyata semuanya melebihi dari yang kasat mata! Ruhul jihad pendidikan di sini bangkit bagaikan lentera di malam hari yang menerangi benda di sekelilingnya; menebar ilmu pengetahuan kepada para pembelajar, membagi energi pada pendidik yang tengah mengabdi.

Di sinilah tempat berlangsungnya pendidikan sejati, yakni pendidikan yang mencerdaskan orang yang belum cerdas, mendewasakan orang-orang yang belum dewasa, memandirikan orang-orang yang sering bergantung pada orang lain, dan menawakalkan orang yang sering keluh kesah, membangkitkan potensi kreatif untuk melawan kejumudan, membentuk solidaritas terhadap sesama di atas kepentingkan pribadi, dan membangun kepercayaan diri pada orang yang sedang mengenal dirinya. Yang dididik tiada lain adalah siswa/siswi MAN Insan Cendikia Gorontalo yang datang dari beragam latar belakang kehidupan, yang tengah mengukir nasib, menyongsong kesuksesan hidup pada masa yang akan datang.

Saat berbincang-bincang dengan Kepala MAN Insan Cendikia Gorontalo, Pak Suwardi, M.Pd, ihwal relung dan rona mengelola madrasah unggul ini, saya tak banyak bicara mendengar betapa hebatnya mewujudkan pendidikan sejati yang mampu membekali siswa dengan berbagai potensi fitrah insaniah yang melebihi apa yang dilakukan oleh lembaga pendidikan sejenis lainnya. Peranan kepala madrasah, guru, dan ustadz betapa tidak ringan dan tidak gampang karena mereka harus benar-benar berperan menggantikan peran orangtua.

Dulu saya pernah mengkaji tentang teori loco parentis, yakni teori yang menjelaskan pentingnya peran guru untuk menggantikan peran orang tua dalam dunia pendidikan. Teori yang dicetuskan oleh seorang ahli moral, Emile Durkheim, ini ternyata sudah diterapkan di MAN Insan Cendikia Gorontalo. Bahkan diyakini apa yang ada di MAN Insan Cendikia Gorontalo melampaui idealisme isi teori tersebut. Dulu saya juga pernah mempelajari pentingnya kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yakni kurikulum tidak tertulis secara formal yang berpengaruh terhadap pembentukan akhlak peserta didik, dan ternyata teori ini pun sudah teraplikasikan di MAN Insan Cendikia Gorontalo. Begitu juga, gagasan pendidikan integratif yang mengintegrasikan imtaq dengan iptek, memadukan sistem pembelajaran boarding dengan schooling, menyeimbangkan kekuatan intelektual dengan moral, itu semua ternyata sudah ada di MAN Insan Cendikia Gorontalo.

Itu sebabnya saat Pak Suwardi menjelaskan semuanya, pikiranku hanya meng-iya-kan saja. Bedanya, sementara aku berpikir hal itu sebagai teori, Pak Wardi berbicara sudah dalam lingkup tindakan mendidik yang memperkaya pengalaman hidupnya sebagai pemimpin di madrasah itu. Pun demikian, guru-guru juga tampaknya menjadi lebih cerdas, bijak, sabar, tahan banting, dan ikhlas karena tempaan hidup sebagai pendidik yang sejak awal dibagun dalam sebuah komitmen esprit de corps untuk mewujudkan generasi ulul albab. Atas penjelasan itulah, saya makin yakin bahwa pendidikan itu hakikatnya harus diwujudkan dalam bentuk tindakan dengan perangai humanistik dan jiwa theistik. Madrasah ternyata dapat menjadi persemaian semua itu. Inilah barangkali yang disebut pendidikan sejati yang mampu “membulatkan” semua potensi anak didik agar mereka memiliki sejarah hidup yang cemerlang.

Semoga apa yang telah dirintis dan dibuktikan sebagai keunggulan di MAN Insan Cendikia Gorontalo dapat menjadi virus endemik yang menyebarkan semangat peningkatan kualitas madrasah pada madrasah-madrasah lainnya di Gorontalo. Amin

Gorontalo, 04 Agustus 2010
Dr. H. Rohmat Mulyana, M.Pd