Pikiran Rakyat, 27 November 2006
Oleh Dr. ROHMAT MULYANA
...Wahai guruku sang pengemban ilmu
Peranmu sangat berarti bagi hidupku
Aku kenal ilmu atas bimbinganmu
Aku pun paham kehidupan atas peranmu
Andaikan kau tak mengabdi
Banyak orang hidup tak pasti
Ilmu tak akan menjadi cahaya Ilahi
Perbuatan tak akan berbuah budi pekerti
Kudoakan agar kau selalu sehat
Kudoakan pula agar kau hidup sejahtera
Baktimu semoga berguna bagi bangsa
Jasamu semoga mendapat banyak pahala...
ITULAH bait puisi yang sekurang-kurangnya dapat mengungkap betapa besarnya peran dan jasa guru dalam pendidikan anak bangsa. Sebagai manusia yang pernah mengenyam pendidikan, kita semua tentu tak pernah luput dari peran dan jasa guru.
Sepanjang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, penegakan nilai-nilai etika kehidupan, dan pembentukan perilaku anak manusia, guru senantiasa menjadi pengawal paling depan. Apapun varian profesi guru, mereka adalah figur sentral dalam kehidupan kita yang kontribusinya tak dapat diganti oleh kecanggihan teknologi.
Kehidupan manusia yang semakin kompleks menjadi tantangan masa depan bangsa yang tidak mudah dipecahkan. Namun melalui pendidikan dan peran guru, beberapa masalah yang dihadapi dapat dipecahkan, walaupun terkadang dunia pendidikan masih menghadapi sejumlah persoalan. Ini artinya dunia pendidikan sangat potensial untuk menjadi zona pemecahan masalah dalam beragam isu yang melingkupi masa depan bangsa kita.
Sulit dibayangkan apa jadinya jika bangsa ini tidak mengalami proses pembelajaran di dunia persekolahan. Walaupun setiap manusia dilahirkan dengan berbekal potensi intelek dan kesadaran rohaniah, semua itu tidak dapat berkembang optimal apabila tidak dibimbing guru melalui situasi pembelajaran di lingkungan pendidikan.
Apa yang terjadi pada tahun 1921 sebenarnya dapat menyadarkan betapa pentingnya peran guru dalam meluruskan sejarah kehidupan manusia. Konon, saat itu ditemukan anak usia 9 tahun di gua srigala. Anak manusia itu berperilaku seperti binatang. Ia berjalan dengan cara merangkak, memakan makanan seperti kesukaan srigala, dan ia tidak bisa berbahasa (Guite, 2006).
Kejadian itu menandakan betapa sejarah kehidupan manusia akan tersendat jika tidak diarahkan dan dibimbing. Tanpa pendidikan dan peran guru, potensi intelektual, sifat, dan karakter manusia tidak akan tumbuh secara optimal. Begitu juga fitrah jasmaniah, nafsaniah, dan rohaniah yang menjadi bawaan potensial manusia akan sulit berkembang.
Dalam contoh yang sederhana, banyak masyarakat yang tersisih oleh kemajuan zaman karena tidak berguru. Di sekitar kita misalnya, masih ada orang yang buta aksara dan buta menulis lantaran tidak pernah dibimbing guru saat usia mudanya. Juga, banyak orang yang tidak pandai menggunakan perangkat teknologi karena tidak belajar dari guru yang berkeahlian dalam bidang itu. Karena itu, saat berhadapan dengan kemajuan zaman yang sedang berlari, mereka tidak mampu bersaing dengan waktu dan tak pandai beradaptasi.
**
Mencermati peran guru dalam konteks pendidikan dan budaya, George Splinder (1983) menempatkan guru sebagai sosok yang sangat strategis dalam perambat kebudayaan, proses akulturasi, dan penanaman nilai-nilai luhur suatu bangsa. Sementara itu, An-Nahlawi (1995) melihat peran guru dalam konteks pendidikan Islam sebagai satu kesatuan dari dua peran yang berbeda, yaitu penyampai ilmu dan pemelihara fitrah.
Islam memang menghargai peran guru sebagai profesi sangat mulia. Bahkan posisi guru seringkali diibaratkan seperti posisi peran para nabi yang mengajarkan ilmu kepada pengikutnya. Karenanya, guru dalam pandangan Islam berperan sebagai penyampai ilmu yang benar (mu’allim), pengembang proses pendidikan (murabbi), penitip pelajaran dan kemahiran (mudarris), pengajar budi pekerti (mu’adib), dan pembentuk jiwa kepemimpinan (mursyid).
Peranan tersebut membuat eksistensi guru selalu relevan dengan perkembangan zaman. Namun peran guru yang demikian strategis terkadang tak setara dengan penghargaan yang diperoleh. Meski telah berkorban menyelamatkan masa depan bangsa, mereka kerap hidup termarginalisasi dari keputusan politik dan persepsi masyarakat yang kurang berpihak pada nasib guru.
Itulah sebabnya, Dedi Supriadi (1998) dalam bukunya Mengangkat Citra dan Martabat Guru menyatakan bahwa profesi guru merupakan profesi yang kesepian. Profesi ini diakui sangat strategis, tetapi dalam beragam persoalan yang dihadapinya tidak banyak pihak yang serius ikut menyelesaikannya. Penghargaan terhadap jasa guru acapkali berbanding terbalik dengan apa yang telah mereka sumbangkan bagi bangsa.
Tak seorang pun politikus, ahli ekonomi, ilmuwan, pedagang, atau pengangguran sekalipun menapaki kehidupan tanpa jasa guru. Kita perlu lebih cerdas dalam menghargai jasa guru dan mampu berempati dengan nasib mereka. Profesi guru perlu dihargai, bukan sebatas pemenuhan kebutuhan aktual manakala anak kita sedang dididik oleh mereka, melainkan harus menjadi ketulusan sepanjang masa yang lahir dari hati nurani setiap orang merasa pernah mengenyam pendidikan.
Sayangnya, masih banyak orang yang terlalu cepat memutuskan tali ikatan dengan guru setelah meraih kesuksesan dalam karier kehidupan. Kini tak banyak politikus yang membela nasib guru, meski mereka naik tahta atas sebab membaca dan menulis yang dititipkan guru.
Banyak pula pengusaha sukses yang pandai berhitung karena belajar dari guru, tetapi tak pandai membagi rezeki dan berempati pada nasib guru. ”Habis manis sepah dibuang,” itulah barangkali pepatah yang tepat untuk mewakili fenomena jasa dan penghargaan guru dari anak-anak didiknya yang telah berhasil meraih kesuksesan hidup.
Sikap pragmatis masyarakat memang jadi tantangan terberat eksistensi profesi keguruan saat ini. Sementara guru dituntut bertahan pada wilayahnya yang idealis, banyak orang melihat pendidikan sebagai investasi yang terlalu lama ditunggu hasilnya. Akibatnya, kepekaan sosial terhadap nasib guru pun menjadi sangat tipis. Suatu gambaran sangat ironis manakala anggota DPR yang notabene pernah dididik guru dan memperoleh gaji yang lebih besar dari gaji guru, hingga kini belum berhasil memperjuangkan nasib guru ke puncak penghargaan yang diharapkan.***
Penulis, dosen UIN Bandung, ”Visiting Scholar” di Columbia University, AS.
Sunday, November 26, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Bapak Rohmat Yth,
Berguru atau belajar sesuatu yang baru tidak berhenti karena usia. Umur seorang guru juga tidak menjadi patokan bahwa dia tidak pantas untuk mengajar yang lebih tua darinya. Pengalaman hidup saya membuktikan hal itu. Pada umur 63 saya mengalami kecelakaan lalulintas. Sejak itu tak dapat bekerja lagi. Teman saya berumur 48 mengajari saya untuk menulis puisi, sajak dan cerpen. Teman lainnya berumur 49 mengajari saya mengenai melukis dengan cat air. Teman lain juga berumur dibawah 50 mengajari saya membuat blog di internet. Pada hal dalam bidang ini, sebelum umur 63 saya boleh dikatakan tak tahu sama sekali. Empat tahun kemudian hasil dari saya berguru kepada teman yang muda itu menghasilkan hasil karya yang sangat membanggakan diri saya.
http://mangsimelukis.blogspot.com/ http://mangsibersajak.blogspot.com/
http://mangsibercerita.blogspot.com
http://mangsimemotret.blogspot.com/
adalah buah yang saya petik. Terima kasih saya kepada R.Karma, Putut Widjonarko dan M.Zaenuddin. Yang membuat kehidupan saya menjadi cerah dan bersemangat.
Wasslam,Singgih
Post a Comment