Jejak Perjalanan ke Amrik (1)
Satu hal yang aku usahakan agar selalu mengisi ruang perasaanku adalah ucapan syukur alhamdulillah atas karuni Allah Swt yang telah membukakan kesempatan seluas-luasnya kepadaku untuk mencoba suatu yang baru. Walaupun setiap perjalanan hidup akan selalu dihadapkan pada hal-hal yang baru, tapi keberangkatan ke Amrik tanggal 3 September lalu telah menjadi sejarah perjalananku yang paling jauh selama ini. Aku yakin Allah Swt akan menambah penjelajahan ruang yang lebih luas lagi bagi setiap hamba-Nya yang memiliki keinginan, semangat berjuang, dan pengorbanan.
Tulisan ini sebenarnya bukan esai formal. Aku hanya ingin menceriterakan beberapa pengalaman yang pernah dilampaui dalam fase kehidupan yang aku alami, khususnya berangkatan ke Amrik. Sejak aku mengusulkan proposal riset ke Aminef tahun 2005, keinginanku untuk dapat berangkat ke Amrik begitu kuat. Maklum 13 tahun yang lalu aku sempat mengusulkan untuk ikut program S2 ke McGill di Canada, tapi informasi yang terbatas ketika itu membuat aku tersandung oleh kegagalan. Aku akhirnya memilih kuliah di dalam negeri dengan harapan suatu waktu dapat berkunjung ke luar negeri selepas kuliah selesai. Aku akhirnya dapat menyelesaikan S3 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tahun 2001.
Abangku, Prof Dr. Dedi Supriadi (almarhum) sempat memberikan keyakinan pada diriku. “Setelah kamu Doktor, kamu dapat ambil riset di Amerika,” kata dia menyakinkan diri saya. Ketika itu, aku tak begitu yakin sebab perkataan itu diucapkan ketika aku sedang disibukan oleh tugas-tugas paper S3 yang sangat buaanyak. Setelah ia wafat tahun 2004, apa yang pernah ia katakan ternyata menjadi kenyataan. Aku secara spontan menulis proposal saat aku sedang disibukan menulis sebuah buku, lalu proposal itu dikirimkan ke Aminef di Jakarta. Empat orang profesor telah memberikan referensi bagi usulan tersebut. Mereka adalah Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Chaedar Alwasilah, Prof. Dr. Rachmat Syafi’i, dan Prof. Dr. Dadang Kahmad.
Satu hal yang memberikan keyakinan, ketika proposal yang aku tulis disampaikan kepada para ahli itu, Prof. Juhaya bilang bahwa proposal tersebut bagus, begitu juga komentar Prof. Chaedar. Saat itu aku sempat pula kirimkan proposal ke rekan saya Pak Agus Tato yang punya pengalaman bahasa Inggris lebih baik. Dia pun memberikan komentar sama dengan dua profesor tadi. Ini cukup memberikan keyakinan, tapi aku tetap ingin melihat hasilnya apakah bagus juga menurut penilai di Aminef/Fulbright. Pada pertengahan Oktober, hasil penilaian sementara diumumkan oleh Aminef dan aku masuk pada orang yang akan diwawancara untuk tahap ke dua bersama Prof. Cristiana Victoria Marta dan Prof. Ronnie S. Natawijaya dari Unpad, Dr. Susilo Ma'ruf dari Umu, Prof. Sudiro Soedarso dari Undip. Sehari kemudian hasil wancara itu diumumkan aku bersama rekan-rekan tadi dinyatakan lulus.
Sekitar 8 bulan aku punya waktu untuk menyiapkan keberangkatan ke Amrik. Tapi herannya setelah aku dinyatakan lulus pekerjaanku semakin numpuk. Aku dipercaya memegang direktur Madrasah Development Center (MDC) Jawa Barat oleh Kepala Kanwil Depag Propinsi Jawa Barat. Selang dua bulan berikutnya, aku diminta Direktur Mapenda Drs. Firdaus, M.Pd untuk membantu beberapa pekerjaan Depag Pusat khususnya berkenaan dengan peningkatan mutu madrasah. Saat itu aku ditugaskan oleh Sekretaris Direktorat untuk menjadi Konsultan BOS di Depdiknas bersama Dr. Mamat Selamet Burhanuddin sebagai wakil dari Depag Pusat. Selain itu tugas mengajar di Pascasarjana UIN dan UPI cukup padat. Akhirnya waktu yang seharusnya digunakan untuk persiapkan keberangkatan lebih banyak digunakan untuk mengerjakan pekerjaan lain sebagai konsultan, ketua MDC Jabar, dan dosen Pasca.
Tanggal 3 September akhirnya tiba. Aku siap-siap berangkat untuk perjalanan jauh. Sebelumnya sudah aku siapkan segalanya untuk keluarga yang akan ditinggalkan selama 6 bulan. Aku memang tidak membawa keluarga ke Amrik karena anak-anak sedang sekolah di Indonesia dan pertimbangan masa berkunjung ke Amrik yang sebentar. Untungnya, my-elbra Pak Muhibbin Syah, M.Ed ikut menghibur keluargaku yang akan ditinggalkan untuk sementara waktu.
Bu Ratna Manurung dan Pak Piet Hendrarjo telah mengatur segalanya untuk keberangkatan aku pada tanggal itu. Tiket sudah disiapkan, paspor, dan visa sudah ditangan, dan beberapa petunjuk agar tidak mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan budaya Amrik sudah diberikan oleh Aminef. Semuanya sudah ok dan aku akhirnya terbang dari Cengkareng menuju Changi di singapura. Aku bermalam di Changi Village hotel untuk menunggu keberangkatan ke Amrik pada jam 6 pagi. Agar tidak kesiangan, aku pasang alarm di HP dan akhirnya aku bangun di pagi buta jam 3.30 dini hari.
Perjalanan ke airport diantar oleh bus yang disediakan oleh hotel tersebut. Aku kemudian terbang menggunakan pesawat United Airlines (UA) menuju Narita Tokyo. Penerbangan ditempuh kira-kira 8 jam. Singgah sebentar dari Narita aku meneruskan perjalanan ke San Francisco, suatu negara bagian di west coast daratan Amrik. Sore hari aku tiba di sana dan tak lama kemudian aku harus melanjutkan perjalanan ke New York City dengan menggunakan pesawat berbeda, yang khusus untuk domestic flight. Semua perjalanan itu ditempuh sekitar 24 jam atau sehari semalam. Badanku pegal-pegal karena kebanyakan duduk di kursi pesawat.
Suatu yang luar biasa terjadi ketika aku menginjakan kaki di JFK airport. Aku dijemput oleh Pak Jaja dan Mas Tom yang sengaja menunggu beberapa saat sebelum kedatanganku. Bagaikan pejabat, aku diantar oleh Pak Jaja dan dikawal oleh mobil Mas Tom dari belakang. Mobil pun meluncur ke rumahnya Pak Rurun Karma yang siap untuk menampung saya pada awal-awal kedatangan. Semuanya serba mudah. Dan Allah telah menetapkan segalanya untuk saya yang baru pertama kali berkunjung ke Amrik. Akupun sangat berterima kasih kepada Prof. Dr. Juhaya yang telah mengontak warga Indonesia, khususnya Pak Suratman di New York untuk menitipkan saya.
Mungkin karena dihubungkan oleh Prof. Juhaya yang pernah ikut membina mesjid di New York City, pamor akupun menjadi terangkat. Aku akhirnya didaulat untuk memberikan ceramah dan menjadi imam mesjid al-Hikmah tatkala bulan Ramdhan. Pada acara Thanksgiving Dinner yang dirayakan di rumahanya Pak Singgih Nata (Joe Ragan), akupun diminta untuk memimpin do’a. Ya, itulah nasib dosen UIN, dimanapun harus mampu menjadi penasihat spiritual, he…he…
Selama tinggal di New York City, aku memperoleh banyak pengalaman baru dalam kehidupanku. Masyarakt New York memang sangat plural. Pada setiap titik kota ada orang dari berbagai asal negara yang berbeda. Ada kulit hitam, putih, merah, kuning, dan sawo matang. Cara berpakaian dan tingkahnya pun bermacam-macam. Itulah yang penyebabkan aku pernah berkata Kepada Prof. Marion Boultbee, direktur International Student Center Columbia University, bahwa "USA is The Real World where people from all over the world are in here”. Dia kemudian menyahuti “Yes, it is” sambil mangut-mangut. Mungkin dia heran melihat aku yang sangat antusias terhadap diversitas bangsa Amrik.
Sejak hari pertama sampai di New York City aku sudah melakukan perjalanan ke Columbia University yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal di Fresh Meadows. Tapi aku yakin semuanya akan lancar karena di New York semua petunjuk untuk perjalannya sangat jelas dan rinci. Lagian susunan jalan di New York mudah dicari berdasarkan urutan nomornya. Subway dan bus pun menyediakan map untuk panduan perjalanan orang-orang yang baru pertama kali datang ke NYC. Karena itu, saat aku buat appointment dengan fasilitatorku, Prof. Louis Abdelatif Cristillo, aku datang tepat waktu dan sendirian.
Seminggu aku tinggal New York City, aku sudah dibawa jalan-jalan ke Pensylvania untuk berkunjung ke rekan Pak Rurun Karma. Di sana kami tidur semalam dan rame-rame bakar steak di rumahnya Pak Soni. Sore hari kami memancing ikan di kali, dekat rumahnya Pak Soni. Wow, ayiiiik sekali. Aku ngak nyangka di Amrik ini bisa mancing. Ikannya gede-gede lagi.
Akupun menyempatkan ngundang rekan-rekan yang sedang kuliah di New York untuk datang kekontrakan selepas lebaran puasa yang lalu. Di belakang rumahnya Pak Rurun Karma aku membakar steak dan ikan bersama rekan-rekan. Memang di sini serba mudah apapun yang diinginkan dapat segera dilakukan. Di belakang rumah itu sudah siap buat barbecue, kursi, meja, tempat pembakaran, tenda, dll sudah tersedia. Aku undang waktu itu sekitar 15 orang tapi yang hadir hanya Mbak Tati Durriyah, Mas Iwan Syahril, Mas Tito, Mbak Monic, Mas Tom, Teh Dresti, dll plus rekan-rekan Pak Rurun Karna dan Bu Wati.
Kegiatan lain selama di New York lumayan sibuk. Pada weekdays aku gunakan untuk melakukan riset di dua sekolah Islam (Al-Noor School dan Al-Ihsan Academy) dengan cara melakukan observasi ke kelas, lab, perpustakaan dan beberapa kegiatan sekolah. Akupun melakukan wawancara dengan sejumlah guru dan menyebarkan kuesioner kepada siswa di sekolah tersebut.
Saat aku datang pertama kali di salah satu dari dua sekolah tersebut, aku sempat kaget karena lama sekali tidak direspon. Eh tahunya di sekolah tersebut ada tatatertib, jika tamu datang tanpa appoinment ia tidak akan diterima. Waktu itu aku memang tidak buat appoinment karena niatnya hanya menyerahkan surat permohonan saja. Tapi ternyata untuk sekedar menyerahkan surat saja harus buat appoinment. Akhirnya aku menunggu lama sekali, tapi semua itu aku nikmati sambil mengenal lebih dekat sekolah tersebut.
Setelah 2 minggu kemudian semuanya menjadi cair. Sekolah yang aku kunjungi sangat welcome untuk dijadikan pusat risetku. Bahkan di dua sekolah itu, aku pernah didaulat untuk menjelaskan tentang Indonesia kepada siswa-siswa ketika mereka belajar social studies. Ternyata asyik juga melakukan riset di sekolah Islam di Amrik. Peraturannya cukup disiplin tapi pribadinya sangat lembut. Aku banyak temukan sesuatu yang baru dari sekolah tersebut yang nanti akan aku tulis dalam research findings.
Selain dari sekolah aku banyak belajar juga dari Iman Syamsi Ali yang kini menjabat direktur Jamica Muslim Center dan presiden Indonesian Muslim Community. Ia seringkali membawa saya pada acara-acara penting terutama sekaitan dengan mutual understanding antar agama di Amerika Serikat. Ia memang seorang cendekia muda yang sangat cerdas dan memiliki jaringan luas di New York City. Suatu ketika aku sempat dibawa untuk mengikuti Multifaith Dialog di sebuah Gereja di Jamica. Saya menilai dia sangat cerdas dalam menjelaskan Islam dihadapan hadirin yang datang dari berbagai latar belakang agama yang berbeda.
Ditengah kesibukan melakukan riset akupun menyempatkan untuk menulis artikel untuk dimuat di koran Pikiran Rakyat. Lumayan juga, sampai arsip Blog ini ditulis aku sudah buat 7 tulisan dalam beragam tema. Pak Wakhudin, M.Pd, salah seorang redaktur koran tersebut banyak sekali membantu untuk proses publikasi tersebut. Karena itu saya sangat menghargai bantuannya.
Cukup sekian dulu ya...., salam buat sahabat-sahabat semua. Aku akan pulang ke Indonesia pada tanggal 03 Maret 2007. Insya Allah.
NY, November, 24 2006
Friday, November 24, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment