Pikiran Rakyat, 01 November 2006
Oleh Dr. ROHMAT MULYANA
DEWASA ini buku yang mengangkat isu multikultural cukup banyak terbit di belahan dunia Barat. Menjamurnya buku tersebut seiring dengan adanya semangat komunal baru pada negara-negara maju yang berpenduduk heterogen. Setidaknya ada dua negara yang paling banyak menerbitkan buku-buku sejenis, yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Pada dua negara tersebut memang diversifikasi penduduk yang terdiri atas beragam etnik, ras, budaya, dan agama selalu menjadi bahan pembicaraan hangat. Apalagi tatanan politik global yang dibentuk oleh image benturan peradaban seperti yang ditulis Huntington (2002) seolah telah berhasil mengukuhkan hegemoni peradaban negara maju.
Isu multikultural kemudian semakin mengkristal dalam pandangan yang lebih ekstrem, yaitu multikulturalisme. Dengan adanya tambahan “isme” dari akar katanya (multikultural), istilah ini ternyata semakin tidak mudah dipahami. Bethany Bryson (2006), seorang profesor dari Universitas Virginia, mencoba menelusuri kompleksitas makna kata tersebut. Ia mewawancara sejumlah profesor berkaliber dalam urusan multikultural yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa makna istilah tersebut ternyata masih kabur dan perlu diperjuangkan.
Meski begitu, ada dua hal yang menarik dicermati dari hasil riset Bryson berkenaan dengan ditemukannya kecenderungan utama dalam memahami istilah multikulturalisme. Multikulturalisme sering dipersepsi sebagai politik pengajaran dan nilai keragaman pada tatanan masyarakat plural. Dua istilah tersebut sebenarnya terkait erat dengan dunia pendidikan yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengecualikan (mutually exclusive), bahkan dapat dikatakan ibarat dua sisi uang yang berbeda.
Isu multikulturalisme sebenarnya tidak terlepas dari tatanan politik global. Dunia Barat yang kini sedang berupaya mengubah tatanan dunia baru agar menjadi “miliknya” mengangkat isu multikulturalisme sebagai tema penting yang ditawarkan dalam mengubah citra masyarakat heterogen. Memang luar biasa, dalam prinsip pendidikan multikultural misalnya, pengakuan terhadap perbedaan menjadi hal yang sangat diutamakan. Hak asasi individu atau kelompok apa pun bentuk keunikannya memperoleh tempat yang terhormat di mata multikulturalisme. Bahkan orientasi seksual semacam homoseksual sekalipun secara perlahan memperoleh tempat di tengah masyarakat Barat.
Dari sinilah kemudian berkembang semangat komunitas yang mencampuradukkan antara keragaman dengan keagamaan, antara yang eksoterik dengan yang esoterik. Setiap keunikan budaya dibiarkan berkembang, namun pada saat yang sama interaksi trans-budaya yang inferior dengan budaya yang superior dapat menyebabkan semakin lunturnya nilai-nilai budaya pada kalangan minoritas yang cenderung inferior. Karena salah satu elemen pembentuk kebudayaan adalah agama, maka keadaan ini sesungguhnya dapat menggambarkan terjadinya pengikisan nilai-nilai agama secara perlahan.
Pada kejadian semacam itu, dampak multikulturalisme dapat menerobos jauh pada wilayah nilai-nilai intrinsik suatu keyakinan agama. Saat nilai agama sudah dilenturkan untuk mengikuti irama masyarakat yang plural, maka batas-batas elemen identitas suatu komunitas beragama dipastikan akan semakin kabur manakala berada dalam posisi yang kalah jumlah, kalah kualitas, dan kalah power. Sementara di lain pihak komunitas beragama yang memiliki superioritas budaya, ekonomi, dan politik akan semakin diuntungkan.
Karena itu, dengan asumsi agama berperan penting dalam pembentukan budaya, maka apa yang terkandung dalam gagasan multikulturalisme sesungguhnya menyangkut eksistensi agama itu sendiri. Agama bukan hanya diakui sebagai kekayaaan yang unik tetapi bisa menjadi sesuatu yang ikut lebur dalam tempat percampuran (melting pot) budaya yang diakui sebagai milik bersama. Ini sesungguhnya berpotensi untuk melahirkan —meminjam istilah Harold Titus (1979)— perang nilai (war of values) yang sebenarnya lebih dahsyat ketimbang sebuah benturan peradaban seperti yang digambarkan Huntington. Kekalahan dalam perang nilai dapat melahirkan penyakit schizophrenia, kepribadian ganda, atau bahkan kehilangan jati diri sama sekali pada kalangan generasi muda.
Inilah sebenarnya gejala yang dikhawatirkan banyak kalangan pada tatanan dunia global. Dalam bukunya Our Endangered Values, mantan Presiden Amerika Jimmy Carter menggarisbawahi adanya krisis moral pada bangsa Amerika yang pada gilirannya memerlukan penguatan semangat religius dalam perspektif agama Kristen. Begitu juga John Esposito, seorang profesor dari Georgetown University yang memiliki perhatian besar terhadap Islam mensinyalir adanya dampak multikulturalisme dan pluralisme terhadap sistem keyakinan suatu komunitas Muslim. Bagi Esposito, pengakuan terhadap keragaman yang ada dalam agama lain tidak harus melemahkan sistem keyakinan umat Islam.
Kekhawatiran tersebut sebenarnya telah terjadi pada sebagian masyarakat kita. Bahkan boleh jadi dampak multikulturalisme ini telah berkembang dalam spesies yang berbeda dari apa yang terjadi di negara asalnya. Pencampuran budaya pada masyarakat plural di belahan dunia Barat tampaknya masih diimbangi oleh kemampuan menimbang secara kritis terhadap pengalaman hidup yang penuh tantangan akibat perbedaan. Namun tidak demikian dengan apa yang terjadi dalam masyarakat kita. Multikulturalisme yang dipromosikan melalui dunia maya seperti televisi, VCD, film, internet, dll., diakui ataupun tidak, telah membentuk kerelaan sosial kawula muda secara masal untuk menerima budaya orang lain yang sebenarnya dapat membengkokkan keyakinan kita terhadap kaidah agama. Di sisi lain, gerakan intelektual yang cenderung kebablasan dalam menerjemahkan toleransi beragama juga sesekali terjadi.
Fenomena tersebut muncul bukan hanya karena kuatnya pengaruh perlintasan budaya dan paham multikulturalisme saat ini, tetapi juga akibat keadaan generasi muda masyarakat kita yang kurang melek spiritualitas dan pemahaman agamanya. Ini adalah tantangan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama, dalam menyiapkan generasi muda. Untuk itu, yang kita butuhkan sekarang ini adalah model pendidikan agama yang mampu membentuk cara pandang terbuka, toleran, dan simpatik terhadap perbedaan, namun di sisi lain keimanan dan perwujudan syariat agama harus menjadi basis utama bagi pengembangan semua tatanan berpikir dan sikap sosial tersebut.***
Penulis, dosen UIN Bandung, sedang mengikuti “Post-Doctor Visiting Scholar Program” di Columbia University, AS.
No comments:
Post a Comment