
Kecenderungan saat ini, pendidikan sangat diwarnai oleh proses pengajaran sebagai transfer of knowledge, padahal masalah fundamental pendidikan lebih rumit proses itu. Guru sering disibukan oleh keharusan menyusun Satuan Pelajaran (Satpel) setiap ia akan mengajar. Mereka seolah diwajibkan untuk mengajar seperti apa yang telah ditulis dalam seperangkat laporan dalam bentuk Satpel kepada atasannya (kepala sekolah). Ketika mereka tidak memenuhinya, seringkali mereka dinilai atasannya sebagai tidak taat administrasi. Tetapi bagi sebagian guru yang kurang disiplin dalam menyusun Satpel ini, mungkin mereka memiliki berberapa alasan yang rasional. Mereka mungkin beralasan bahwa Satpel yang disusun terkadang tidak sepenuhnya digunakan dalam pengajaran di kelas. Dari tahun ke tahuan pembuatan satpel masih sama saja dengan Satpel sebelumnya. Mereka juga mungkin beranggapan bahwa penyusunan Satpel merupakan pekerjaan yang cukup melelahkan, tanpa dibarengi dengan insentif yang memuaskan.
Keadaan seperti itu sebenarnya merupakan dilema pendidikan di sekolah yang mengehendaki adanya disiplin secara administratif dengan disiplin akademik. Namun tampaknya tekanan disiplin lebih banyak berorientasi pada kebutuhan pemenuhan kewajiban administratif dari pada kewajiban akademik. Salah satu sinyalemen yang mendukung dugaan tersebut, kepala sekolah atau pengawas yang memiliki kewajiban untuk mengawasi kegiatan pengajaran di kelas jarang sekali muncul di kelas. Sekali menyerahkan tugas penyusunan Satpel seolah selesai tugas mereka dalam membimbing guru. Dengan demikian tidak ada suatu upaya pengawasaan secara berkala terhadap profesionalisme guru dalam mengajar di kelas.Hal tersebut pada gilirannya telah membuat pengajaran di kelas menjadi kurang terkontrol.
Selain itu, kemampuan guru pada umumnya dalam mengembangkan strategi belajar yang bermakna dinilai masih rendah. Tidak banyak guru yang mengetahui bagaimana cara pembelajaran yang demokratis dan lebih memusatkan pengajaran para pengembangan potensi anak. Pengajaran berputar pada kebiasaan lama yang lebih mengutamakan sistem ceramah dengan bobot otoritas guru yang demikian tinggi. Guru mengajar di kelas dengan menyampaikan sejumlah materi pengajaran seperti halnya yang mereka pahami. Ketika mereka menguasai suatu materi secara matang, maka seolah semua pengetahuannya harus ditransfer kepada anak didiknya dengan harapan mereka menjadi orang yang memiliki pengetahuan yang sama dengan dirinya. Cara ini persis kurang dapat mengembangkan sistem berpikir akan didik secara kreatif. Bahkan cara tersebut dapat dikatakan sebagai "pemaksaan" terhadap pikiran anak yang belum cukup dewasa untuk berpikir seperti berpikirnya guru yang sudah pintar. Daya serap pikiran anak memang masih segar dan tidak mudah lupa, tetapi alangkah bijaksananya apabila mereka diberi kesempatan untuk berpikir sesuai dengan kemampuan dan minat mereka dalam batasan-batasan topik yang sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan. Maka, dalam cara ini materi pelajaran dapat dikatakan sebagai pemancing untuk mengajak siswa berpikir secara kreatif. Adapun sampai sejauhmana mereka mampu berpikir tentang suatu pengetahuan dalam materi pelajaran menjadi kebutuhan siswa berikutnya. Di sini penguasaan materi tidak lebih penting dari pada pencapaian kedewasaan berpikir anak.
Mengapa muncul pemikiran seperti itu? Untuk menjelaskan pemikiran tadi suatu analisis tentang hakikat pendidikan perlu dipahami. Untuk apa pendidikan itu? dan apa sesungguhnya yang hendak dikembangkan dalam diri anak didik. Salah satu tujuan pendidikan yang paling populer adalah untuk mendewasakan anak didik. Kata mendewasakan berarti membekali kemampuan anak agar mereka mampu berpikir ke arah yang lebih matang dan bijaksana. Istilah pendewasaan harus dipahami dalam konteks perkembangan berpikir anak. Pendewasaan bukan berarti membuat anak kecil menjadi seperti orang dewasa dalam hal berpikirnya, tetapi membuat mereka mampu mengakomodasikan segala potensi berpikirnya sesuai dengan tahapan perkembangan yang tengah dialaminya. Seorang anak umur 6 tahun dapat dikatakan dewasa berpikirnya apabila ia mampu melakukan pertimbangan terhadap tindakan yang sangat sederhana seperti mengatakan "tidak" terhadap sesuatu yang memang salah. Perkataan "tidak" sesungguhnya merupakan akhir pernyataan dari suatu inferensi berpikir dalam kerangka tertentu yang dialami anak.
Jadi, andaikata pendidikan diartikan sebagai suatu proses pendewasaan berpikir, maka hal tersebut harus tercermin dalam upaya pendidikan yang memberikan keleluasaan kepada anak didik untuk menata pikirannya sesuai dengan kemampuan dirinya. Di sini yang paling penting adalah proses berpikir bukan hasil berpikir. Di sini pula tercakup prinsip learning how to learn, sebagai salah satu pilar penting pendidikan dari UNESCO, bukan learning how to evaluate. Nilai, prestasi dalam bentuk angka, harus dipahami sebagai sebuah proses evaluasi yang berada dalam proses pendidikan keseluruhan. Evaluasi seperti ulangan UAN, bukan akhir dari proses pendidikan atau pengajaran. Suatu ungkapan yang dikatakan oleh Edward J. Power (1985) bahwa education is never ending menunjukan bahwa evaluasi yang dilakukan selama ini hanyalah merupakan salah satu riak dari segala proses pendidikan yang anggap penting untuk menilai keberhasilan sementara dalam belajar.
Kembali pada persoalan mengapa proses berpikir itu lebih penting dari pada hasil berpikir. kemampuan siswa untuk berperilaku mandiri yang didasari pertimbangan-pertimbangan kognitif mereka diyakini sebagai akibat dari kemampuan mereka melakukan inferensi berpikir atas persoalan yang dihadapi. Dengan demikian pertimbangan kognitif mereka melibatkan pengetahuan fungsional yang secara keseluruhan merupakan rangkaian yang menyatu. Itulah yang disebut sebagai kerangka berpikir (frame of thinking) dari anak didik. Kerangka berpikir ini mungkin terjadi dalam bentuk-bentuk yang sederhana atau dalam bentuk yang sangat kompleks, bergantung pada fase perkembangan berpikir seseorang. Penulis menyakini bahwa kerangka berpikir ini akan lebih fungsional apabila ditemukan secara kreatif melalui pengembangan diri siswa sendiri, dari pada diarahkan. Artinya, biarkan mereka berpikir lebih leluasa tentang suatu masalah yang dikemukakan oleh guru atau tentang suatu topik pelajaran sampai mereka mampu mengembangkan pemikirannya secara lateral. Peran guru adalah mengarahkan membimbimbing apabila mereka kurang berkembangan atau malah melenceng terlalu jauh dari suatu topik yang ditargetkan. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai non-directive learning yang diaplikasikan melalui proses yang demokratis dengan mengurangi dominansi peran guru.
Persoalan pertama yang muncul adalah mungkinkan hal tersebut sepenuhnya dalam kontek pendidikan kita? Jawabannya adalah mungkin! Hal tersebut mungkin dilakukan karena saat ini ada suatu kebijakan yang mendukung dengan digulirkannya Otda yang memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengembangkan manejemen yang berbasis sekolah (School Based Manajement). Mungkin suatu saat evaluasi pendidikan seperti EBTA yang saat ini sering dirasakan sebagai sesuatu yang sangat mengikat pola tindakan guru dalam mengajar segera dihapuskan. Evaluasi lebih terfokus pada evaluasi yang dibuat guru. Dengan demikian ada kewenangan guru dalam menentukan standar penilaian yang lebih akomodatif dalam membedakan kemampuan siswa. Penilaian terhadap kemampuan berpikir siswa secara kreatif di kelas dapat dimasukan ke dalam salah satu komponen penilaian. Artinya, aktivitas siswa dalam berbicara dan mutu pembicaraannya dapat diberikan bobot skor yang lebih pasti untuk bahan penilaian prestasi mereka.
Yang jelas, dengan digulirkannya Otda dibarengi dengan disentralisasi pendidikan yang lebih memberikan kewenangan penuh kepada sekolah dan pemerintahan daerah setingkat Kota/Kabupaten untuk mengelola pendidikannya. Dengan demikian norma acuan penilaian yang berbeda sangat mungkin untuk digunakan berdasarkan kebutuhan tiap sekolah. Yang kita harapkan adalah dengan adanya disentralisasi pendidikan dalam rangka Otda tidak justru melahirkan raja-raja kecil di daerah yang ingin menguasai sistem pendidikan ke arah pemusatan pendidikan dengan dalih disentralisasi.
Persoalan berikutnya adalah pada jenjang mana pengembangan berpikir secara kreatif dapat dilakukan? menurut hemat penulis, untuk tahap pertama implementasi pemikiran sudah dapat dilakukan dalam jenjang pendidikan menengah. Pada jenjang ini siswa sudah mulai memiliki kedewasaan berpikir. Mereka adalah siswa yang tengah mengalami proses perkembangan psikologis remaja (adolescence) dan remaja akhir (late adolescence). Mereka memerlukan nilai-nilai kehidupan dan kemampuan kematangan berpikir untuk kebutuhan perkembangan di masa mendatang. Mereka juga sudah mampu berpikir analitis bahkan sintesis. Dapat dibayangkan apabila mereka masih diceramahi dengan sejumlah pengetahuan tanpa adanya pelibatan mereka dalam berpikir secara kreatif, maka mereka tidak akan memiliki kemandirian dalam berpikir. Setelah keluar dari sekolah mereka akan seperti "seekor ayam yang kehilangan induknya." Mereka akan kurang mampu menentukan sikap, merespon situasi dan memecahkan masalah yang tengah dihadapinya, lantaran ilmu-ilmu yang diperolehnya hanyalah potongan-potongan pengetahuan yang belum terintegrasi dan kurang fungsional. Sedangkan apabila mereka diajarkan suatu kerangka berpikir yang mengandung sistem informasi yang jelas dan gamblang runtutannya, benar-benar dipahami anak, besar kemungkinan mereka akan mudah mengingatnya dan menggunakannya dalam suatu kesempatan.
Dengan demikian, suatu kerangka atau skema berpikir melibatkan sejumlah pengetahuan yang saling terkait satu sama lainnya. Anak dapat berpikir mulai dari mana saja untuk menuju pada pamahaman yang lebih lengkap. Dalam konteks pemahaman berpikir seperti itulah sesungguhnya terdapat pertimbangan nilai-nilai logis yang akan bertahan lama dalam diri anak. Konsep ini sesuai apa yang dikatakan Chaplin (1972) dan Warren (2000) yang menyatakan bahwa belajar adalah "sebuah perolehan pengalaman yang bertahan lama dalam diri anak". Anak boleh lupa tetapi dari sekian banyak pengetahuan yang terlupakan harus ada yang teringgal dan melekat lama serta fungsional untuk kehidupannya. Kemungkinan-kemungkinan pengembangan kerangka berpikir demikian sangat mungkin dilakukan pada anak usia sekolah menengah (SMP atau SMU) yang mana secara psikologis mereka sudah memiliki kemampuan berpikir hipotetis dan abstrak secara simultan (serentak).
Persoalan lainnya adalah apa yang harus disiapkan oleh guru dalam mengembangkan kerangka berpikir anak. Untuk membentuk suatu kerangka berpikir yang lebih terarah dan fungsional, tentu memerlukan keahlian yang sama pada diri guru. Artinya bagaimana bisa seorang guru mendidik siswanya berpikir kreatif kalau dia sendiri tidak mampu mengembangkan pemikirannya secara kreatif. Karena itu, sebelum mereka mengembangkan kemampuan berpikir siswa, guru harus menata dahulu cara berpikir mereka. Mereka perlu menguasai bahan ajar secara mendalam, meski hal tersebut bukan merupakan satu-satunya syarat yang harus dipenuhi. Sebenarnya kekurangmampuan guru dalam menguasai bahan ajar, dapat diatasi oleh kemampuan mereka dalam menggunakan model-model pembelajaran siswa aktif.
Kegagalan yang terjadi pada saat Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diterapkan, delapan tahun yang lalu, sebenarnya tidak saja bertumpu pada kelemahan siswa, tetapi mungkin adanya kekurangpahaman guru terhadap teknik-teknik yang dapat dilakukan dalam pengembangan metode tersebut di lapangan. Hal tersebut juga sebenarnya diakibatkan oleh kurangnya informasi yang disampaikan kepada guru. Ketika CBSA diluncurkan sebenarnya pola pelatihan terhadap guru tidak berbeda dengan sebelumnya, yaitu dengan memberikan ceramah tentang metode bukan mengaplikasikannya dalam model-model pelatihan (training) yang lebih menyentuh tataran teknis. Penulis melihat bahwa untuk menerapkan cara tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama agar guru mengetahui secara lengkap mengenai berbagai teknik yang dapat digunakan.
Seperti yang dilakukan oleh negara-negara Barat yang sangat humanis, pendidikan dan pelatihan guru lebih diarahkan pada pembentukan keterampilan (skill) pengajaran yang lebih praktis dan operasional. Di Amerika Serikat, misalnya, teori pendidikan hanya memperoleh porsi 1/3 dari keseluruhan kurikulum pelatihan guru. Sementara 2/3 lainnya digunakan untuk pematangan keterampilan guru secara praktis dalam menggunakan model-model pengajaran yang demokratis. Cara ini diwajibkan kepada semua calon guru, tanpa terkecuali. Yang dengan cara tersebut guru mengajar dibekali kemampuan teknik-teknik mengajar yang berorientasi pada pengembangan kemampuan siswa secara individual.
Kenyataan yang terjadi di Tanah Air, bahwa pendidikan dan pelatihan guru lebih banyak berorientasi pada pengembangan nalar tentang pendidikan dan pengajaran. Dari kurikulum yang ada di LPTK sekitar 80% muatannya bersifat teoteris, membicarakan "tentang" pendidikan dan pengajaran dalam konteks perluasan wawasan berpikir. Sementara itu pembekalan keterampilan mengajar hanya mendapat porsi yang sangat sedikit. Hal tersebut sudah tentu berdampak pada style of teaching yang guru kembangkan di kelas. Mereka akan mengajar tidak jauh berbeda dengan pengalaman pendidikan yang telah diperolehnya ketika kuliah.
Dengan demikian pembentukan kerangka berpikir anak yang lebih fungsional dan bermakna membutuhkan para pendidik yang handal; memiliki wawasan psikologi pengajaran yang cukup, serta memiliki keterampilan mengajar yang demokratis. Lebih jauh lagi, untuk mengubah pola pengajaran berpikir ke arah yang lebih fungsional dan bermakna, membutuhkan perubahan paradigma kurikulum pendidikan dan pelatihan guru yang lebih menjamin akuntabilitas guru dalam mengajar di kelas. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi, maka ironi kekurangmatangan berpikir siswa di tengah proses pendidikan yang cenderung kognitivis, tidak lagi terjadi.*** (Rohmat Mulyana, 19 Desember 1998)
No comments:
Post a Comment