Wednesday, November 22, 2006

International Conference di Singapura


Pengalaman Jadi Presenter

Aku orang yang senang mencoba sesuatu yang kiranya positif dan dapat memperkaya sejarah hidup. Beberapa waktu yang lalu, aku pernah mengikuti International Conference di National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapura. Kala itu aku tak sengaja mampir di website NIE yang tengah menawarkan call for paper untuk penyajian hasil penelitian atau makalah dalam konferensi tersebut. Aku coba buat abstrak karena waktu itu aku sedang menulis buku tentang Pembelajaran Nilai dalam Pendidikan Agama Islam. Eh…. tahunya direspon cepat oleh panitia dan aku diminta untuk menyerahkan makalah sebulan kemudian.

Waktu itu, aku memang belum pernah menjadi presenter dalam konferensi internasional. Pengalaman paling banter hanya sebatas menjadi peserta saja dalam beberapa konferensi sejenis. Namun ada dorongan yang demikian kuat untuk mencoba jadi presenter ketika aku ikut International Interfaith Seminar di UIN Syahida beberapa waktu sebelumnya. Seorang Keynote Speaker yang bernama Somvir, P.hD dari India menyatakan yakin bahwa aku mampu menjadi presenter dalam kegiatan berskala internasional. Aku pun semakin percaya diri dan coba berperan sebagai penyaji di NIE Singapura.

Menjelang kegiatan aku coba mempersiapkan semua yang diperkirakan akan dibutuhkan saat penyajian. Makalah yang dipesan oleh panitia segera aku susun dan dikirimkan lewat e-mail. Tugas ini selesai dalam jangka waktu 10 hari. Ya…. cukup lelah juga karena belum terbiasa menulis dalam bahasa Inggris yang polanya berbeda dari pola penulisan dalam bahasa Indonesia. Aku siapkan juga pointers untuk penyajian yang kira-kira strategis untuk disampaikan.

Makalah, abstrak, dan beberapa sofware yang diperlukan untuk penyajian akhirnya beres sekitar lima hari sebelum berangkat. Sekarang tinggal mencari dana untuk berangkat ke sana yang memang untuk presenter tidak diberikan bayaran apa-apa, kecuali fasilitas untuk akomodasi. Karenanya aku coba mencari dana ke berbagai instansi yang aku pernah mampir di sana. Waktu itu aku sebar 5 surat yang dialamatkan ke Puslitbang Depag Pusat, Fakultas Tarbiyah, UIN Bandung, dan dua penerbit buku (Alfabeta dan Rosda Karya). Hitung punya hitung ternyata dapat uang cukup lumayan hingga mencapai 6,2 juta. Hebaat juga aku pikir waktu itu. Sampai-sampai sempat ada keinginan untuk berbisnis konferensi internasional di beberapa negara agar mendapat sumbangan lain, he.. he…. Aku sadar sebenarnya mereka mau menyumbang karena aku jadi presenter, kalau hanya jadi peserta mungkin banyak yang ngak mau.

Akhirnya pada tanggal 29 Mei 2005 aku berangkat ke Singapura melalui pulau Batam. Penetapan tanggal ini keberangkatan ini dengan perhitungan satu hari sebelum mulai konferensi tanggal 30 Mei sampai 1 Juni 2005 aku sudah ada di Singapura. Maklum sudah terbiasa cari dispensasi, sebelum naik motor boat ke Singapura aku telepon dulu Pak Jafar Umar agar membantu memperoleh diskon fiskal. Waktu itu memang fiskal masih dapat diatur sana-sini, yang akhirnya aku dapat bayar hanya setengahnya. Tapi sekarang, katanya, udah ngak bisa lagi cara gituan semua orang yang bayar fiskal harus bayar penuh.

Sampai di daratan Singapura aku dijemput sama Pak Ali Nurdin, seorang dosen UIN Bandung yang sedang kuliah S3 di National University of Singapore (NUS). Aku ikut nebeng di apartemen Pak Ali selama lima hari sampai selesai acara konferensi.

Hari pertama aku hadir di Auditorium Conferensi untuk mendengarkan presentasi sejumlah Keynote Speakers dari berbagai perguruan tinggi di dunia. Saat itu aku tak punya rekan untuk berbicara saat makan, minum, atau saat istirahat sebelum masuk sesi berikutnya. Tapi ngak lama kemudian ada Mr Robyne Henderson dari New Zealand yang menyapa aku dan bertanya macam-macam tentang kehadiran saya di NIE. Wah akhirnya asyik juga saya dapat teman dan ternyata teman baru ini sama-sama mau jadi presenter dalam kajian multiliteracy.

Kegiatan konferensi di Auditorium melibatkan semua peserta, penyaji dan pembicara kunci. Makanya kegiatan konferensi pada sesi ini melibatkan banyak orang. Namun setelah sesi tersebut, peserta dibagi lagi ke dalam sejumlah ruangan bergantung pada minat masing-masing. Begitu juga para penyaji. Mereka sudah diatur untuk masuk ruang yang telah ditetapkan panitia. Pada hari ke dua aku dapat bagian untuk menyajikan makalah bersama Osborn Abey, P.hD dari Amerika dan Cristine Clark, P.hD dari Singapura. Aku mengira penyajian tersebut akan dipanelkan, eh ..tahunya seorang-seorang harus maju ke depan, berdiri di depan seperti lagi mengajar. Aku lupa bahwa konferensi tersebut tentang pedagogi bukan andragogi.

Saat penyajian aku gunakan bahasa Inggris alakadarnya. Aku percaya diri saja, karena orang Singapura juga punya gaya bahasa Inggris yang berbeda dari penutur aslinya. Akupun waktu itu menggunakan gaya Inggris Indonesia, bahkan mungkin Inggris-Sunda. Tapi alhamdulillah mereka mengerti juga apa yang saya sampaikan. Sayangnya ketika ada satu pertanyaan yang aku tidak begitu paham. Seorang peserta yang kelihatannya dari Indonesia kemudian mencoba menjelaskan maksud si penanya. Akupun akhirnya waktu itu mengerti apa yang ia tanyakan dan langsung memberi jawaban.

Selesai sesi aku penasaran pada orang yang ikut membantu menjelaskan pertanyaan tadi. Aku coba menghampiri dia dan aku tanya namanya. Eh.. ternyata dia Pak Zuhdi, MA dosen UIN Syahida yang tengah menyelesaikan S3 di McGill university, Canada. Dia sedang menuju pulang ke Indonesia untuk liburan, tapi sekalian menyajikan makalah dalam konferensi tersebut. Aku sendiri sebenarnya sangat berharap dapat ketemu dia karena sebelumnya sudah tahu bahwa ada seorang dosen UIN Syahida yang juga menjadi penyaji dalam konferensi tersebut. Setelah berkenalan akhirnya kami dapat lama-lama ngobrol sana-sini tentang berbagai hal terutama menyangkut UIN.

Selesai konferensi aku tanya kepada panitia barangkali ada sertifikat. Maklum waktu itu bayanganku akan pulang dengan membawa sertifikat yang bagus seperti yang diberikan dalam kegiatan sejenis di Indonesia. Ketika aku tanyakan kepada panitia, ternyata sertifikat itu tidak ada. Aku katakan, mengapa tidak ada? Mereka menyatakan memang kami tidak menyediakan sertifikat. Tapi akhirnya mereka membuat semacam surat khusus yang menjelaskan bahwa aku telah menjadi penyaji dalam konfetensi tersebut. Akhirnya aku sadar pula bahwa di Singapura ternyata yang dihargai bukan sertifikat, tetapi ilmunya. Inilah barangkali yang berbeda dengan apa yang terjadi di negara kita. Kegiatannya kecil, sertifikatnya mengkilap, he…he..

No comments: