Thursday, November 23, 2006

Issue Pendidikan Antar-Agama

Oleh Rohmat Mulyana

Seminar internasional pertama tentang pendidikan antar-agama (interfaith education) yang diselenggarakan UIN Jakarta secara resmi ditutup Presiden RI di Istana Negara tanggal 4 Februari 2005 lalu. Konferensi yang berlangsung tiga hari ini terbilang cukup prestisius. Mayoritas pembicara kunci (keynote speakers) datang dari sejumlah negara dengan beragam latar belakang keyakinan agama seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu, Kong Hu Cu, dan Taoisme.

Selama enam bulan persiapan yang dimotori Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta ini berhasil mendatangkan sejumlah tokoh intelektual dan pemuka agama kaliber internasional dari enam jenis agama yang tersebar di seluruh dunia. Saat itu, penyajian diskursus Islam tampak cukup terwakili oleh hadirnya K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Salman Harun (Indonesia), Prof. Nawaz Khan (Pakistan), dan Nurah Ammat’ullah, Ph.D (USA).

Begitu juga agama lain. Agama Kristen diwakili oleh Sister Barrones Cox dan Prof. John Mark (Inggris), Prof. John May (Australia), Sister Joan Kirby (USA). Agama Budha diwakili oleh Master Chin Kung dan Maosen Zhong, Ph.D (Australia), Venerable Xue Cheng (China) Prof. Toh Swee Hin (Australia), Prof. Mulyadi Wahyono (Indonesia). Agama Tao diwakili oleh Master Lee Zhiwang (Singapura). Agama Hindu oleh Somvir Ph.D (India) dan Agama Kong Hu Cu oleh Dr. Candra Setiawan (Indonesia). Selain itu, masih ada sederetan nama lain dari kalangan intelektual muda yang tidak sempat disebutkan di sini.

Dalam pidato penutupan seminar, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut baik prakarsa seminar pertama ini. Seminar yang mengangkat topik “Pendidikan antar-agama bagi perdamaian dan kerukunan” ini menjadi tonggak sejarah -- awal pendidikan antar-agama diangkat sebagai isu global di Indonesia.
Tulisan ini tidak bermaksud mengetengahkan hasil seminar, melainkan lebih mencerminkan pemikiran reflektif penulis atas sejumlah pandangan yang berkembang dalam forum seminar. Isu yang diangkat menyangkut semangat, prinsip dan tantangan yang dihadapi pendidikan antar-agama dimasa mendatang.

Semangat Toleransi

Dalam masyarakat pluralistik, agama acapkali menjadi salah satu ciri penting keragaman. Sebab itu, keberadaan pendidikan antar-agama dalam konteks masyarakat multi-religi tidak diragukan lagi. Bahkan pada negara yang memiliki tingkat kohesivitas dan homogenitas keyakinan sekalipun, pemahaman lintas agama tetap diperlukan.

Dialog antar-penganut agama perlu diselenggarakan agar pandangan inklusif, sikap kooperatif dan terbuka terhadap perbedaan menjadi sebuah gerakan masal. Dialog tentu bukan untuk mereduksi akar keyakinan seseorang, melainkan suatu upaya untuk saling memahami (mutual understanding) dan saling menghargai (mutual respecting) antar-umat beragama, yang dalam terminologi Islam disebut tasamuh.

Sikap saling memahami dan menghargai diajarkan dalam setiap agama. Islam dengan jelas menempatkan toleransi sebagai ajaran penting yang diwakili idiom al-irham (QS. 4:1) dan at-ta’aruf (QS. 49:13) yang berarti silaturahmi dan saling mengenal. Demikian pula lafadz ‘amalunaa ‘amalukum dapat ditafsirkan sebagai asas penghargaan terhadap wilayah keunikan setiap agama. Sejarah berbicara bahwa Rasulullah telah menanamkan sikap tasamuh pada masyarakat Makkah dan Madinah untuk hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani.

Dalam agama lain, sikap saling menghormati juga menjadi titik inti ajaran interaksi kehidupan beragama. Ajaran Budha, misalnya, menekankan pentingnya Sepuluh Perilaku Baik (The Ten Good Conducts) sebagai prinsip dasar hubungan antara manusia dalam masyarakat. Agama Hindu mengajarkan Empat Prinsip (The Four Principles), yaitu tanpa kekerasan, kejujuran, keadilan, dan perdamaian sebagai dasar untuk peletakan sikap toleransi. Misi Tao mengajarkan Sepuluh Kebijakan (The Nine Virtues) sebagai prinsip dasar penanaman penghargaan terhadap yang lain. Agama Kong Hu Cu menekankan pentingnya Ren yang mengajarkan prinsip-prinsip hubungan kemanusiaan (humanity) sebagai perluasan nilai-nilai etika. Dan, ajaran tentang Tuhan Yesus Kristus dalam agama Kristen dengan jelas bertujuan untuk menebar cinta kasih antar-sesama manusia. Semua itu bagaikan untaian mutiara dengan kilapan cahaya sama (semangat toleransi), meski ditemukan dari dasar laut yang berbeda (aneka warna bahasa).
Agama seolah tengah menguji kita untuk menemukan sisi persamaan di balik fenomena keragaman yang terkadang dibangun diatas fondasi ekslusivitas dan pandangan sempit.

Semangat toleransi dalam setiap agama bagaikan zona milik bersama, walaupun zona tersebut oleh pemiliknya sesekali terlupakan. Jika sikap eksklusif itu tumbuh subur diantara umat beragama, syakwasangka akan lahir dan agama akan menjadi sumber konflik atau (setidaknya) dianggap sebagai pemicu (trigger) gejolak sosial.

Prinsip Pendidikan Antar-Agama

Semangat toleransi dalam setiap agama sekaligus menegaskan kepada kita bahwa pendidikan antar-agama memiliki peran strategis. Kesalahpahaman terhadap perbedaan agama tiada lain bersumber dari ketidaktahuan. Betapa mudah seorang anak merasa terganggu oleh keunikan tampilan tradisi agama lain yang ia sendiri tidak berupaya untuk mengenalnya. Betapa mudah pula orang menduga bahwa letupan dan agitasi sosial berakar dari perbedaan agama. Karena itu, perluasan pengetahuan tentang pernik-pernik agama lain menjadi teramat penting manakala kita menghendaki adanya kerukunan antar-umat beragama.

Prinsip dasar yang perlu dipahami dalam pendidikan antar-agama adalah menemukan benang emas persamaan sebagai titik singgung dan menempatkan perbedaan sebagai keragaman yang harus dipertahankan. Agama yang satu tidak dapat memonopoli agama lain. Keunikan menjadi sebuah anugrah yang terlalu absurd untuk dapat dikoptasi oleh individu atau kelompok. Di sebarang sana ada rentetan sejarah orang bijak, fakta budaya dan peradaban, relung keyakinan, dan ritualitas keagamaan yang tumbuh dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Hakikatnya adalah tak mungkin kebenaran, kebaikan dan kebijakan saling mengkoptasi satu dengan lainnya.

Pendidikan antar-agama juga tidak berpretensi untuk mencelupkan perbedaan-perbedaan ke dalam kuali pelebur agar menjadi seragam. Pendidikan antar-agama yang berbasis nilai toleransi justru menawarkan gagasan “integrasi dan asimilasi pluralistik” tanpa harus mereduksi keunikan-keunikan yang ada dalam setiap agama. Pribahasa “jika tak kenal maka tak sayang” sesungguhnya sebuah idiom yang dapat mewakili semangat pendidikan antar-agama untuk menciptakan kerukunan antar-umat beragama. Soumvir, seorang intelektual muda India menyatakan bahwa seseorang dikatakan benar-benar religius jika ia teruji dalam masyarakat, bukan dalam keterasingan hutan belantara.

Dua pertanyaan kritis yang menyentuh substansi pendidikan antar-agama juga sempat dilontarkan Toh-Swee-Hin, seorang direktur Multi-Faith Center, Griffith University, Australia. Dalam makalah yang berjudul Inter-Faith Dialogue in the Waving of the Culture and Peace; Challanges for Educators, Hin melontarkan dua pertanyaan penting yang harus dijawab oleh ahli pendidikan, guru, orangtua, dan masyarakat. Bagaimanakah kita dapat memperkenalkan kepedulian kritis tentang akar penyebab semua bentuk konflik dan kekerasaan pada kehidupan pribadi, hubungan antar-pribadi, keluarga, masyarakat dan dunia? Bagaimanakah kita dapat menanamkan nilai dan sikap secara simultan agar anak mampu berpikir kritis bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bahkan dunia?

Dua pertanyaan di atas sesungguhnya menyentuh wilayah epistemologi pendidikan antar-agama khususnya tentang perolehan dan pelekatan nilai yang bersumber dari sejumlah kasus kehidupan. Dalam konsep pendidikan nilai, pertanyaan Hin mengungkapkan perlunya belajar nilai berbasis kasus (case-based value learning) sebagai strategi pencerahan nilai agama yang universal maupun partikular.

Prinsip lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa pendidikan antar-agama harus dilakukan secara integral dengan sejumlah pendekatan yang beragam. Sejumlah perangkat ilmu dapat dijadikan pisau analisis saat keunikan peristiwa, ajaran, sistem keyakinan, dan artefak suatu agama ditelaah anak. Seorang guru, misalnya, harus melihat wilayah-wilayah kritis perbedaan agama secara utuh dalam perspektif sosiologi, antropologi, psikologi, teologi, etika, filsafat, moral dan ilmu pendukung lainnya. Dengan demikian, anak akan terbimbing pada pemahaman perbedaan sebagai keunikan yang harus disyukuri.

Tantangan yang Dihadapi

Kini pendidikan antar-agama tampaknya akan menjadi sebuah kemestian yang sulit dihindari. Fakta bahwa masyarakat Indonesia yang muti ras, suku, budaya dan agama menjadi alasan kuat mengapa pengetahuan lintas-agama dan budaya perlu dikembangkan. Tetapi, cita-cita untuk menyelenggarakan pendidikan antar-agama secara nasional tampaknya masih akan menghadapi sejumlah tantangan, antara lain:

Pertama, pada wilayah akar rumput (grass root), perluasan pengetahuan antar- agama acapkali dikhawatirkan banyak pihak. Belajar sejarah agama lain, misalnya, seolah membuka peluang bagi anak untuk tergoda oleh keyakinan lain. Sikap skeptis dan pesimistis dalam komunitas ini pada gilirannya menjadi tantangan terberat dalam implementasi pendidikan antar-agama. Karena itu, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah membuat masyarakat beragama melek informasi dan lebih terbiasa dengan gagasan dan cita-cita pendidikan antar-agama.

Kedua, persoalan yang cukup krusial terkait dengan penyiapan sumberdaya pendidik yang berwawasan luas. Belajar kesamaan dan perbedaan agama memerlukan pendekatan multi-disiplin dan melek teknologi. Tidak cukup bagi seorang guru menjelaskan akar persoalan sebuah konflik umat beragama tanpa mengetahui secara pasti relung keyakinan para penganutnya. Dengan kata lain ia harus mendalami teologi beberapa agama dan melengkapi pengetahuannya melalui teknologi informasi.

Ketiga, pendidikan sebagai ilmu tindakan tentu memerlukan uraian rinci mengenai cara pendidikan antar-agama itu dipraktikan. Wilayah ini justru menjadi tugas terberat dalam implementasi. Secara konseptual, seorang ahli pendidikan dapat merumuskan paradigma umum pendidikan antar-agama dengan cerdas, tetapi pada riak terendah pendidikan terdapat keunikan yang akan menguji kebenaran konseptual di lapangan. Ini artinya, masih ada kebutuhan lain dalam upaya penyelenggarakan pendidikan antar-agama, yakni penyiapan silabus, materi, media, dan evaluasi pembelajaran.

Keempat, persoalan internal pendidikan agama masih sering dilakukan secara dogmatis dan imperatif. Hal ini berpotensi untuk terjadinya tarik ulur kebutuhan dalam pendidikan antar-agama. Tatanan kognitif anak yang dibagun melalui hafalan yang berlebihan dapat mengurangi tingkat kekritisan yang sebenarnya diperlukan dalam analisis lintas-agama. Begitu juga, pembentukan perilaku beragama secara imperatif pada satu sisi dapat mengakibatkan sikap eksklusif yang kontra-produktif dengan prinsip pendidikan antar-agama. Sebab itu, kewajiban setiap penganut agama adalah mengurai pengetahuan, pemahaman dan pengamalan agama sebagai prasyarat penting bagi terselenggaranya pendidikan antar-agama.

Dalam diskursus pendidikan formal, empat tantangan tersebut menjadi tugas berat Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Penyiapan guru pendidikan antar-agama tidak sesederhana merekruit guru agama. Kini tampak mengemuka pentingnya sebuah sistem pendidikan calon guru agama di perguruan tinggi yang menjamin lahirnya generasi pendidik berwawasan luas dan profesional. Jika saja pada setiap komunitas beragama mampu menghasilkan species guru ini, maka “juru damai” antar-agama akan lahir di setiap lingkup pendidikan dan komunitas keyakinan beragama.

Rohmat Mulyana, dosen UIN SGD Bandung, peserta Seminar Interfaih Education.

No comments: