Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2006
Oleh Dr. ROHMAT MULYANA
MENJADI hal yang istimewa bagi siapa pun yang memperoleh kesempatan berkunjung ke Amerika Serikat (AS). Betapa tidak, negara yang berpenduduk sekira 296 juta ini berada pada jarak setengah putaran bumi dari Indonesia. Sekali perjalanan ke Amerika sama dengan telah melewati setengah lingkaran bumi atau pulang pergi sama dengan telah mengelilingi bumi.
Letak geografis Amerika yang sangat jauh dari Indonesia membuat waktu kehidupan keduanya sangat berbeda. Ketika masyarakat Indonesia baru bangun tidur di pagi hari, masyarakat Amerika pada umumnya baru pulang kerja dan hendak menjemput tidur panjang di malam hari. Begitu juga, ketika umat Islam di Indonesia sedang melakukan makan sahur, Muslim Amerika justru sedang merasakan lapar dan dahaga di tengah-tengah masyarakat yang pada umumnya tidak berpuasa.
Di negeri Paman Sam ini berkembang komunitas Muslim dari beragam keturunan seperti Timur Tengah, Arab, Asia, Afrika, dan Eropa. Mereka hidup sangat bersahabat dan penuh hangat dalam memberikan sambutan. Persaudaraan antarmereka makin tampak setelah datangnya bulan Ramadan 1427 H. Ucapan salam, brother, dan sister kerap terdengar dalam pembicaraan mereka. Ini benar-benar suatu kehidupan yang sangat indah dalam suatu masyarakat plural yang lahir dari berbagai ras dan etnik dengan latar budaya yang beraneka ragam. Ciri fisik dan karakter individu hanyalah hal eksoterik yang tampil berbeda, tetapi pada keragaman itu terdapat hal esoterik yang mengikat persaudaraan antara mereka, yakni dienul Islam.
Dalam komunitas masyarakat Muslim Amerika, makna lita'arafu seperti yang tercantum dalam Q.S. Al-Hujurat 49:13 benar-benar menjadi pengalaman yang menyatu dengan realitas sosial. Perkenalan antarsesama Muslim, bahkan dengan non-Muslim sekalipun, dirasakan sangat bersahabat. Di sudut kota Elmhust, misalnya, ada Indonesian Community Center (ICC) tempat berkumpulnya orang Indonesia dari berbagai latar belakang keyakinan. Pada sejumlah toko makanan (grocery) milik orang Islam juga dibagikan jadwal salat, buka puasa, dan sahur sambil mengajak buka bersama di masjid-masjid terdekat.
Kini di Amerika terdapat 1.209 masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam. Masjid tersebut rata-rata didirikan oleh komunitas Islam yang awalnya menghimpun dana dari ikatan persaudaraan seetnik dan sebangsa. Muslim keturunan Pakistan, misalnya, mengumpulkan funding dari komunitas mereka untuk membangun Masjid Omar Ben Abdel-Aziz di bilangan Jamaica. Begitu juga, Muslim Indonesia melakukan hal serupa dengan mendirikan Masjid Al-Hikmah di Long Island City yang dibangun sejak tahun 1994. Kini masjid milik komunitas Muslim Indonesia ini berdiri kokoh di tengah kota yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Perkembangan jumlah masjid yang demikian cepat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir sebenarnya seiring dengan pertambahan jumlah Muslim penduduk Amerika. Office of International Information Programs, US Department of State menyinyalir bahwa Islam menjadi salah satu agama di Amerika yang paling cepat berkembang saat ini. Penduduk Muslim Amerika saat ini mencapai sekira 8 juta jiwa. Ini artinya selama 15 tahun terakhir jumlah penduduk Muslim Amerika telah meningkat sekitar 1.500 kali dari populasi tahun 1991 yang menurut laporan World Almanac saat itu hanya 5.200 orang.
Kebebasan beragama yang dijamin oleh US Constitution and Bill of Right telah memberikan peluang pada warganya untuk menentukan afiliasi keyakinanya. Seperti yang dilansir The Bureu of Democracy, Human Right, ang Labor Affairs (1999), toleransi beragama dan pengharaan terhadap keyakinan yang berbeda merupakan elemen utama dari nilai inti dan pengalaman bangsa Amerika. Penghargaan ini pun sebenarnya berlaku pada setiap aspek kehidupan yang menyangkut toleransi dan penghargaan terhadap etnik, ras, budaya, etika, dan perilaku-perilaku unik individu.
Dalam konteks ini, memang tepat apa yang dinyatakan Lawrence Fuchs (1991) dalam bukunya The American Kaleidoscope yang menyatakan bahwa keragaman bangsa Amerika tidak untuk disatukan ke dalam kuali pelebur agar menjadi sama, sehingga mozaik keragamannya dibiarkan tampil ibarat oase yang sangat indah.
Pada masyarakat yang serba rupa (colorful), Muslim Amerika dapat hidup bertahan dan komunitas mereka semakin lama semakin bertambah. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat komunitas Muslim terus meningkat jumlahnya, yaitu bertambahnya imigran yang beragama Islam, terutama dari wilayah Timur Tengah dan negara-negara Arab, kelahiran anak-anak dari keluarga Muslim, dan konversi agama. Suatu hal yang fantastik dinyatakan dalam laporan American Muslim Council (AMC), bahwa sekitar 25% dari jumlah Muslim Amerika adalah "pendatang baru" (mualaf).
Dari sisi pelayanan pendidikan, masyarakat Muslim Amerika juga memiliki prestasi tersendiri. Kini terdapat sekira 250 Islamic Schools yang memberikan pelayanan pendidikan formal kepada anak-anak keluarga Muslim. Jumlah ini sebenarnya belum termasuk Sunday Islamic Schools yang hanya memberikan pelayanan pendidikan agama seminggu sekali di masjid-masjid. Menurut The Los Angeles Time jumlah masjid yang biasa menyelenggarakan kegiatan tersebut mencapai lebih dari 500 buah.
Inilah sekelumit dinamika komunitas Muslim Amerika saat ini. Masih banyak hal yang belum diungkapkan terutama berkenaan dengan realitas sosial yang selalu menguji daya tahan keyakinan mereka. Bagi masyarakat Muslim Amerika hidup sebagai minoritas di negara super power yang sedang giat memerangi "terorisme", mengusung sekularisme, dan mengedepankan kebebasan individu dapat dipastikan tidak gampang dan penuh perjuangan. Semangat dan daya juang yang tinggi menjadi modal utama mereka untuk dapat hidup secara kompetitif, sebab pada wilayah akar rumput, terutama setelah terjadinya nine eleven tragedy, diskriminasi sosial dan ekonomi ternyata masih mungkin terjadi.***
Penulis, dosen UIN Bandung, sedang mengikuti Post-Doctor Visiting Scholar Program di Columbia University, AS.
Wednesday, November 22, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment