Republika, 25 Desember 2005
Oleh ROHMAT MULYANA
Tak banyak masyarakat kota yang mengenal dekat madrasah, apalagi madrasah yang dimaksud adalah madrasah swasta. Masyarakat kota lebih akrab dengan sekolah umum negeri yang notabene relatif unggul dalam kualitas. Salah satu sebab kurang akrabnya masyarakat kota terhadap madrasah adalah karena madrasah swasta banyak tersebar di pinggir kota dan pedesaan.
Pada umumnya madrasah swasta dibangun atas kesadaran masyarakat dengan semboyan “dari masyarakat dan untuk masyarakat”. Ikatan emosional masyarakat lebih kuat ketimbang pilihan rasional. Pertimbangannya sederhana, yaitu ikut menyuburkan pendidikan agama, sambil menitipkan anaknya agar menjadi anak yang shaleh.
Alasan lain adalah kemampuan ekonomi. Orang tua siswa pedesaan memilih madrasah swasta dengan pertimbangan biaya dan jarak yang terjangkau. Pertimbangan biaya sekolah yang murah merupakan pilihan tepat terutama dalam kondisi ekonomi yang kurang sehingga madrasan menjadi pilihan mereka.
Sebagai lembaga pendidikan formal yang lahir dari kekuatan akar rumput (grassroot), madrasah swasta muncul dalam berbagai bentuk dan corak orientasinya. Ada madrasah swasta yang didirikan oleh yayasan, ada pula yang bersifat pribadi. Induk organisasinya pun beragam. Karena perbedaan manajemen dan ideologi, acapkali pembinaan madrasah swasta menjadi lebih rumit daripada pembinaan madrasah negeri.
Perspektif Sejarah
Kemandirian madrasah swasta sebenarnya beralas sumbu pada kekuatan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat yang tumbuh dari generasi ke generasi. Rasa kepemilikan itu terkait erat dengan semangat religiusitas masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai keagamaan. Semangat itu berlangsung sejak lama dan melekat.
Secara historis, kemandirian madrasah swasta telah teruji. Sistem pendidikan madrasah, yang diduga sebagai perpaduan sistem pendidikan ala Timur-Tengah dengan ala Barat, telah mengkristal sejak abad ke-19. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah swasta secara konsisten mengembangkan sistem pendidikan Islam, walaupun sering diintimidasi oleh penjajah.
Masyarakat Islam terdorong untuk mendirikan madrasah dengan alasan pemerintah Belanda saat itu bersikap diskriminatif terhadap anak-anak Muslim. Nasib serupa dialami ketika jaman Jepang. Dalam kondisi demikian, madrasah nyaris selalu berada dalam tekanan. Tekanan itu dapat bersifat politis, kultural maupun ekonomis. Secara ekonomis, misalnya, penjajah tidak memberikan subsidi biaya untuk keperluan pendidikan, karena khawatir akan lahir semangat heroik umat Islam, yang pada gilirannya dapat membahayakan kelangsungan kekuasaannya.
Namun, atas partisipasi masyarakat saat itu telah membuat madrasah swasta tetap bertahan.
Pada tahun 70-an, keberadaan madrasah kembali terusik oleh adanya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, dan diperkuat oleh Intruksi Presiden No.15 tahun 1974 yang berpotensi “mengasingkan” madrasah dari sistem pendidikan nasional. Masyarakat muslim saat itu, memberikan reaksi keras terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai diskriminatif.
Menanggapi kegaduhan itu, pemerintah mengeluarkan SKB Tiga Menteri, yang memberikan peluang lebih luas bagi akses madrasah. Dengan SKB tersebut peluang anak santri untuk memasuki pekerjaan pada sektor-sektor modern semakin terbuka.
Pada dasarnya, perjalanan sejarah madrasah swasta menggambarkan prototipe pendidikan Islam sebelum ada kebijakan formalisasi (menegerikan) madrasah. Namun, dalam rentang perkembangannya, ternyata banyak madrasah swasta yang “jalan di tempat”, karena kelemahan SDM dan kekurangan sarana pendukung.
Unggul Kuantitas
Secara makro, data kuantitatif mengenai besaran biaya, luas lahan, jumlah siswa dan jumlah guru mencerminkan bahwa madrasah swasta lebih mandiri daripada madrasah negeri. Secara finansial, kemandirian madrasah swasta terbukti dari besarnya biaya yang diserap dari masyarakat.
Tahun 2000-2001, kontribusi masyarakat untuk tingkat MIS sebesar 56,8 persen, MTsS 87,6 persen, dan MAS 67,7 persen Persentase tersebut jauh melebihi kontribusi masyarakat untuk MIN, MTsN, MAN atau untuk SDN, SMPN, SMUN. Besarnya kontribusi masyarakat mencerminkan bahwa madrasah swasta mampu mengatasi minusnya bantuan dari pemerintah.
Sejak peralihan kekuasaan dari orde baru ke orde reformasi, keberpihakan pemerintah mulai tampak. Menguatnya perhatian pemerintah terutama setelah cendikiawan muslim memperoleh tempat di kabinet. Mereka kemudian ikut berperan dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Sayangnya apa yang diperoleh madrasah saat ini masih jauh dari harapan yang sebenarnya, sehingga hal itu belum mengubah nasib madrasah swasta.
Keunggulan kuantitas madrasah swasta dapat dicermati juga dari jumlah siswanya. Dari 10 orang siswa yang sekolah di madrasah, 8 orang di antaranya menuntut ilmu di madrasah swasta. Ini memang terkait dengan jumlah madrasah negeri yang sedikit. Penting untuk dicatat bahwa kebanyakan siswa yang sekolah di madrasah swasta berasal dari keluarga kurang mampu.
Membangun Kualitas
Mutu madrasah swasta secara umum masih sangat rendah. Rendahnya mutu madrasah swasta setidaknya dapat dilihat dari Nilai Ebtanas Murni (NEM). Ketika SMU “The Best Ten” (yang umumnya sekolah swasta non-Muslim) di Jakarta memperoleh kisaran NEM antara 50,1 s.d 55,1, Madrasah Aliyah Swasta berada pada kisaran NEM kurang dari 27,6.
Rentang yang demikian jauh itu menunjukkan bahwa secara umum madrasah swasta tertinggal jauh dari sekolah swasta yang non-muslim. Melihat itu, sajak Taufiq Ismail yang berjudul “Aku Malu Jadi Anak Indonesia”, tampaknya relevan dengan kondisi aktual pendidikan Islam selama ini.
Apa yang perlu dilakukan dalam meningkatkan mutu madrasah swasta? Sekurang-kurangnya ada tiga hal. Pertama, perlu penyebaran informasi tentang madrasah yang lebih menyentuh aspek-aspek terdalam dari relung kehidupan madrasah swasta.Informasi-informasi yang bersifat kasuistik mengenai keunggulan madrasah swasta “elit” perlu ditampilkan ke publik untuk didesiminasikan ke madrasah lainnya. Maksudnya untuk memberikan gambaran tentang strategi dalam membangun madrasah yang berkualitas.
Kedua, adanya pelibatan yang lebih intensif dalam peningkatan profesionalisme guru dan kepala madrasah swasta dalam berbagai program pendidikan dan pelatihan yang dibiayai pemerintah. Pemerataan kesempatan itu sebaiknya didasarkan pada rasio perbandingan antara guru yang ada di madrasah negeri dengan swasta.
Ketiga, upaya pengawasan yang berkelanjutan dan berkesinambungan terhadap perkembangan madrasah swasta. Pengawasan ini memiliki peran penting terhadap upaya memberikan masukan kepada pihak madrasah dalam meningkatkan mutu dan kinerjanya. Langkah ini sekaligus untuk menghimpun informasi yang lebih akurat sebagai bahan pengambilan kebijakan oleh pihak pemerintah.
Masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengangkat kualitas dan kemandirian madrasah swasta. Hal terpenting dalam membangun madrasah swasta adalah perlunya penetapan prioritas pendidikan yang lebih jelas. ***
Penulis adalah dosen UIN Bandung, Direktur Madrasah Development Center (MDC) Jawa Barat
Thursday, November 23, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment