Wednesday, November 22, 2006

Menyoal Pendidikan Nilai di Sekolah


Pikiran Rakyat, 17 Oktober 2006

Oleh Dr. ROHMAT MULYANA

ACAPKALI nilai dipikirkan terlampau filosofis, sehingga kurang berakar pada usaha nyata yang perlu dilakukan melalui pendidikan. Ahli pendidikan saat ini masih banyak yang asyik membicarakan nilai pada wilayah aksiologi, ketimbang aksi. Padahal nilai, apa pun bentuknya, melekat pada sejarah hidup yang terikat kuat pada fakta perbuatan setiap orang.

Secara praktis, nilai berarti kebermaknaan tindakan atau perbuatan yang dirasakan langsung oleh yang bersangkutan atau dipersepsi orang lain. Sumbernya cukup beragam bergantung pada kerangka rujukan (frame of reference) yang dijadikan dasar dalam bertindak. Nilai dapat bermakna positif atau negatif, sehingga upaya pendidikan perlu menumbuhkan nilai-nilai yang positif dan mencegah tumbuhnya nilai-nilai yang negatif.

Fenomena nilai dewasa ini sangat mudah ditemukan dalam perbandingan yang sangat kontradiktif. Ketika di suatu tempat terdapat kemewahan di tempat lain terjadi kemiskinan dan kepapaan. Saat sekelompok orang berjuang membela keadilan, masih banyak pihak yang menyebar kezaliman. Ada yang berupaya menyemai perdamaian, ada pula yang menebar benih-benih permusuhan. Ada orang yang cinta kebersihan, namun ada pula yang terbiasa hidup kotor. Dan masih banyak lagi contoh lain yang sejenis.

Itu semua menjadi tantangan pendidikan dewasa ini. Tugas pendidikan untuk memperbaiki sistem sosial yang karut-marut akibat tindakan individu atau kelompok yang cenderung antisosial merupakan perkerjaan yang tidak mudah. Berbagai upaya perlu dilakukan dan pekerjaan ini dipastikan membutuhkan waktu dalam hitungan generasi untuk dapat mewujudkan budaya masyarakat yang berbasis nilai-nilai keutamaan.

Sebuah pelajaran yang berharga dalam membumikan nilai sosial melalui pendidikan dapat kita ambil dari negara-negara yang telah memiliki tatanan sosial dan sistem pendidikan yang lebih mapan. Di Malaysia, misalnya, pendidikan moral diajarkan secara lebih serius melalui asas-asas etika sosial baik secara normatif maupun deskriptif. Pembelajaran dikembangkan melalui pendekatan penyelesaian konflik moral yang menawarkan isu-isu sosial yang aktual (Wikimepia, 2006).

Di Amerika Serikat, pembelajaran nilai sosial melalui pendidikan ternyata telah menjadi sebuah tradisi yang berkembang cukup lama. Seperti dinyatakan John LaMachia (2000), sejak munculnya kesadaran kolektif dalam bentuk kesadaran komunalisme dan pluralisme, isu-isu sosial yang menjadi akar syakwasangka dan diskriminasi yang terjadi beberapa tahun lampau dibedah kembali dalam sejumlah buku yang menjadi bahan pelajaran para peserta didik. Cara ini ternyata sangat menarik karena pembelajaran nilai lebih berbasis pada kasus-kasus sosial nyata yang tidak boleh terulang kembali pada masyarakat Amerika. Inilah yang mereka sebut sebagai belajar dari kesalahan sejarah untuk menumbuhkan kesadaran sejarah.

Dua contoh pembelajaran nilai tadi sebenarnya menjelaskan apa yang belum banyak terjadi pada pengembangan kurikulum pendidikan kita. Dalam kurikulum pendidikan kita, pembelajaran asas-asas etika normatif seperti yang dilakukan di Malaysia belum secara utuh dipadukan dengan kajian realitas sosial masyarakat kita.

Asas-asas etika normatif acapkali dipelajari terlalu definitif dan berorientasi pada pengisian daya memori jangka pendek. Akibatnya, siswa seolah dipandu ke arah berpikir diskrit berdasarkan timbunan pilahan pengetahuan yang kurang memiliki perambatan alur berpikir fungsional dan skematik.

Demikian pula, tradisi belajar nilai dari kesalahan sejarah tampaknya belum difungsikan secara serius dalam pendidikan kita. Sejarah pada bangsa kita masih sering dipersepsi sebagai cerita orang-orang besar dengan semangat heroik pada zamannya. Itulah sebabnya penyajian sejarah bangsa kita masih datar, kurang berelung, dan kurang berorientasi pemecahan masalah. Kasus-kasus antisosial seperti diskriminasi, syakwasangka, korupsi, kolusi, nepotisme, dan sejenisnya yang sebenarnya menjadi sisi buram sejarah bangsa kita belum menjadi ramuan bahan pelajaran yang dianalisis secara cerdas dampak negatifnya sehingga melahirkan kedewasaan berpikir dan sikap pro-sosial pada peserta terdidik.

Sementara ini pembelajaran nilai -- yang menurut Thapar (2003) sebagai jantung dari segala pengalaman belajar -- tampak kurang mengemuka dalam dunia persekolahan kita. Isu-isu sosial yang berkembang seolah dibiarkan berlalu begitu saja, hilang dari ingatan kita. Perhatian kita semuanya tertuju pada upaya peningkatan akademis peserta didik yang lebih tampak dan terukur, sedangkan aspek pengembangan nilai yang sebenarnya menjadi inti pengalaman pembelajaran masih kurang terberdayakan.

Karena itu, perbaikan sistem pembelajaran nilai, khususnya untuk nilai-nilai sosial memerlukan adanya gerakan pedagogis kritis yang secara perlahan dapat mengubah tatanan berpikir ke arah yang lebih terbuka, kritis, dan bijaksana. Di samping itu pula, kehendak politik pendidikan yang kondusif bagi eksplorasi nilai dan penguatan hukum yang sungguh-sungguh untuk perbaikan citra sosial menjadi elemen penting yang tidak terpisahkan dari upaya tersebut.***


Penulis, dosen UIN Bandung, sedang mengikuti "Post-Doctor Visiting Scholar Program" di Columbia University, AS.

No comments: