Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan pertama yang menceriterakan perjalananku ke Amrik.
Setelah tiga setengah bulan tinggal di New York City, aku mulai terbiasa dengan kehidupan di kota The Big Apple ini. Kalau saat awal kedatangan sempat kurang nyaman lantaran masih belum terbiasa meninggalkan keluarga, sekarang tampaknya mulai menyukai kota ini. Memang benar apa yang dikatakan banyak orang, bagi siapa saja yang baru mengunjungi kota ini awalnya “hate New York”. Keadaan itu hampir dialami setiap orang dalam rentang waktu dua bulan awal. Setelah itu, katanya, “like New York,” dan kemudian “love New York”. Benar juga, apa yang dialami dua bulan awal merupakan saat-saat yang paling berat bagiku karena belum terbiasa, tapi kemudian semuanya menjadi biasa setelah tinggal lebih dari dua bulan.
Selama tiga bulan setengah ini aku mencoba menggunakan waktu sebaik mungkin agar tinggal di kota ini benar-benar menjadi pengalaman yang berarti. Penelitian yang tengah aku garap hampir selesai saat tulisan ini dibuat. Aku akan menyajikan temuan penelitian itu pada pertengahan bulan Januari di Teacher College, Columbia University. Sisa waktu selama dua bulan akan aku gunakan untuk menulis buku yang belum rampung semenjak aku mempersiapkan program ini. Aku memang masih punya utang untuk menerbitkan beberapa buku yang sempat mandek karena waktu penulisannya tersita oleh garapan pekerjaan lain saat aku masih di Indonesia.
Sebagai visiting scholar yang tengah melakukan penelitian, kedatanganganku ke Columbia University memang sangat berbeda dengan rekan-rekan yang mengambil program master atau doktor. Mereka sangat sibuk dan banyak mengatur waktunya sesuai dengan jadwal perkuliahan. Setiap minggu mereka harus mengerjakan tugas dari profesornya. Maklum mereka datang ke Amrik untuk memperoleh gelar. Tetapi bagi aku dan juga rekan-rekan yang mengikuti Senior Research Program, waktu lebih mudah diatur sesuai dengan work plan yang sudah disiapkan masing-masing. Meski kegiatan kami cukup padat, waktu kegiatannya relatif dapat disesuaikan dan tidak banyak terikat oleh sistem di host institution. Ya, namanya juga visiting scholar, kami diperlakukan sebagai profesor yang sedang bertamu di perguruan tinggi.
Soal risetku, aku menyelesaikan tugas pengumpulan data lapangan pada pertengahan bulan Desember 2006 dan insya Allah merampungkan laporannya dua minggu kemudian. Pokoknya akhir Desember semua pekerjaan risetku diharapkan sudah beres. Aku memang sudah buat appointment dengan Prof. Cristillo untuk mempresentasikan temuan penelitian ini pada pertengahan Januari dihadapan civitas TC. Setelah itu aku diminta pula untuk masuk kelas bersama beliau dalam beberapa tatap muka.
Berbicara tentang pengalaman di Teachers College (TC), suatu ketika aku merasa sangat tersanjung. Saat itu semua visiting scholar yang tengah berkunjung di Columbia University diundang Presiden TC, Furhman, pada acara Lucheon in Celebration of International Education Week 2006. Kami berkumpul sekalian makan siang di Zankel Building. Setiap visiting scholar datang dengan didampingi Profesornya yang menjadi fasilitator masing-masing. Saat itu, Prof. Cristillo memperkenalkan saya kepada President Furhman dan hadirin yang hadir di ruangan itu. Begitu juga, aku diminta untuk bicara memperkuat apa yang disampaikan Prof. Cristillo terutama tentang rencana riset yang akan aku lakukan di perguruan tinggi terkenal ini. Selesai aku bicara, hadirin memberikan tepuk tangan tanda appreciate atas rencana risetku.
Ada hal yang memang aku rasakan berbeda saat aku berbicara tentang topik risetku dihadapan mereka. Mereka sangat antusias mendengarkannya terutama ketika beberapa kali aku sebut Islamic Education. Kata “Islam” yang sementara ini telah membuat alergi banyak orang Amerika non-Muslim selepas peristiwa 9/11, aku sampaikan sebagai suatu topik kajian risetku di hadapan mereka. Mereka begitu terdorong untuk tahu tentang risetku. Salah seorang profesor yang mengaku sempat membimbing mahasiswa dari Fakistan, akhirnya mendekatiku dan bertanya ihwal risetku dan keadaan Muslim Indonesia.
Memang menjadi visting scholar terasa sangat istimewa. Di New York City aku dapat bertemu banyak orang terkenal yang yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Lagi pula perguruan tinggi yang menjadi host institution dalam kunjungan saya, Columbia University merupakan perguruan tinggi swasta yang paling terkenal di kota The Big Apple ini. Saat aku berbicara kepada orang tentang penelitianku di CU, mereka pada umumnya sangat appreciate dan menyatakan “Oh, that’s the best university!” Bahkan hampir setiap petinggi Indonesia yang berkunjung ke New York selalu menyempatkan diri untuk mampir ke CU. President Susilo Bambang Yodhoyono (SBY), misalnya sempat memberikan orasi dihadapan civitas CU beberapa waktu lalu.
Perguruan tinggi ini memang sangat berkaliber. Dunia ilmu dijunjung tinggi dengan budaya akademik dan pelayanan publik yang sangat luar biasa. Semua keperluan yang berkenaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan rasa-rasanya tersedia di sini. Koleksi perpustakaannya sangat lengkap dan mudah diakses. Selain itu ruang untuk baca dan ruang untuk mengerjakan tugas-tugas akademik juga tersedia dengan leluasa bagi mahasiswa yang ingin bekerja sampai perpustakaan itu tutup pada malam hari sekitar jam 10. Yang lebih hebatnya lagi, perpustakaan itu selalu padat pengunjung dan mereka rata-rata bekerja sampai sore bahkan larut malam untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Ini baru aku berbicara soal keadaan perpustakaan Gottesman Library atau perpustakaan milik Teachers College yang hanya bagian kecil dari Columbia University. Belum lagi ada perpustakaan umum yang lebih besar yang disebut The Library of Columbia University.
Berbicara tentang perpustakaan ada satu hal yang mengejutkan aku. Suatu ketika aku coba cari buku yang berkenaan dengan pendidikan nilai sebagai bidang kajian yang aku tekuni selama ini. Aku coba searching di web site Gottesman Library untuk menemukan buku tersebut dan ternyata buku-buku yang sering dikutip oleh para penulis pendidikan nilai tersedia di perpustakaan tersebut. Di satu sudut bagian perpustakaan itu, tepatnya di lantai 3, buku tentang nilai semuanya ada. Aku coba hitung waktu itu, kayaknya sekitar 50 buku tersimpan di sebuah rak. Aku sempat berpikir tentang bagaimana cara membawa buku ini ke Indonesia. Meski buku tersebut pada umumnya sudah berumur lama, tapi aku perlu untuk memperkuat basis pendidikan nilai di Indonesia. Sampai tulisan ini di buat aku belum punya keputusan tentang bagaimana cara membawa buku tersebut. Yang jelas semua buku itu sudah di kamarku karena jumlah peminjaman buku di TC tak terbatas dan berlaku untuk satu semester.
Hal lain yang menarik dari jejak kunjunganku di New York City adalah pertemuanku dengan orang-orang terkenal. Saat di Indonesia aku tak pernah membayangkan dapat ketemu orang-orang tersebut. Sebagai misal, suatu ketika aku sempat bertemu dengan K.H. Hasyim Muzadi di Konsulat Jenderal RI, bertemu Duta Besar Indonesia untuk Amerika, pejabat Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di PBB, pejabat Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di New York, para pejuang kemerdekaan RI yang hijrah ke US, eks-president Kamboja yang ditunjuk PBB, pejabat perbankan (BI, BNI dan BRI), dan bahkan sempat ketemu dengan vokalis group musik Dewa yang lagi ngetop di Indonesia. Ya.. alhamdulillah, banyak yang dapat aku alami selama di sini.
Untuk mengisi kegiatan di kala luang aku bergabung dengan rekan-rekan dari sejumlah negara yang sedang belajar bahasa Inggris. Meski aku sempat belajar bahasa itu, rasanya masih perlu juga menambah wawasan tentang bahasa tersebut. Yang lebih penting lagi, aku ingin lebih sering menggunakan bahasa Inggris selama aku di New York dan memperoleh banyak teman from all over the world. Makanya, bersama club ini kami bertemu dua minggu sekali di Astoria untuk berbicara berbagai hal sekaligus melenturkan lidah. Teman-temanku sekitar 30 orang dan mereka pada umumnya muslim dari Maroko, Mesir, Bonia, Albania, Brazil, Serbia, Sudan, Turki, Palestina, dll. Mereka sangat baik dan penuh persaudaraan.
Waktu luang juga aku gunakan untuk jalan-jalan menelusuri New York City. Biasanya hal itu aku lakukan pada saat weekend. Beberapa tempat pernah aku kunjungi seperti Toko Buku Strand di 42 Street yang menyediakan banyak buku tua dan baru, Coney Island dan Far Rockaway yang memiliki pemandangan pantai yang indah, dan China Town dengan pernik-pernik ala asia dan tempat lainnya. Saat luang itulah aku sering menyempatkan bertemu dengan rekan-rekan yang sedang mampir di New York. Aku misalnya sempat ketemu lagi dengan mas Zuhdi Dosen UIN Syahida yang baru P.hD dari McGill university saat ia berkunjung ke New York untuk seminar dengan tim Sesame Street Indonesia. Juga aku ketemu mas Salahudin Kafrawi, P.hD, kolega di UIN Bandung, selepas ia menyampaikan khotbah di mesjid al-Hikmah.
Pokoknya kalau aku tuliskan semuanya pasti rekan-rekan pingin sekali berkunjung ke New York City. Sueeeer …deh! Sekian dulu yah nanti di sambung lagi.
Wednesday, December 20, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment