Suatu ketika aku diundang untuk menghadiri acara tahunan di sekolah Islam yang tengah aku jadikan sebagai pusat penelitian. Sekolah itu terletak di Rockaway Boulevard, sekitar setengah jam perjalanan dari tempat tinggalku di bilangan Fresh Meadows. Asisten kepala sekolah tersebut mengundang aku karena kegiatan tersebut sangat erat kaitannya dengan topik penelitianku yang menyangkut isu multicultural.
Jam 9 pagi aku sudah tiba di sekolah tersebut. Aku hubungi asisten kepala sekolah tersebut yang bernama Sister Bebi Rahman, yang kala itu tengah sibuk mempersiapkan acara tersebut dengan para guru. Jam 9.30 pagi acara dimulai. Anak-anak usia Pra-TK naik ke panggung untuk membaca beberapa do’a pendek yang kemudian mereka menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Setelah itu anak-anak TK menyanyikan lagu-lagu Islami dalam bahasa Inggris, atau kalau di Indonesia disebut lagu nasyid untuk anak-anak.
Acara terus berjalan dan aku pun sibuk untuk ambil foto setelah memperoleh izin dari kepala sekolah, Brother Rafeek Muhammad. Aku sangat beruntung karena diijinkan untuk ambil foto dalam acara tersebut sehingga beberapa bukti untuk lampiran penelitianku dapat semakin lengkap. Biasanya untuk ambil foto anak-anak di bawah umur di Amrik tidak mudah dan harus minta ijin dari orang tuanya. Tapi aku sangat beruntung karena mungkin kepala sekolah sudah cukup percaya sama aku. Akupun hanya akan menggunakan foto tersebut untuk keperluan penelitian bukan untuk yang lain-lain.
Pada jam 11 acara semakin semarak. Anak-anak dari tingkat yang lebih tinggi (grade 4-8) mulai memperlihatkan penampilannya. Mereka menggunakan beragam pakaian dari sejumlah negara di dunia dan membaca cerita tentang negara yang mereka wakili. Bendera setiap negara yang diwakili mereka pun dikibarkan dan beberapa atraksi budaya negara ditampilkan. Pakaian kimono, misalnya, yang biasa di pakai di Jepang ditampilkan oleh siswa tingkat 5 dengan latar musik dari negara Sakura.
Dalam pentas multikultural itu, aku sempat dibuat suprise oleh sebuah tampilan siswa kelas 8 yang menyajikan sejarah dan budaya Indonesia. Hebatnya lagi, penampilan mereka dilengkapi oleh sejumlah track film tentang Indonesia yang menceriterakan wilayah, kekayaan, budaya, bencana, dan prestasi Indonesia. Sungguh luar biasa! Aku memang tidak menyangka akan disuguhi penampilan anak-anak manis yang mempromosikan Indonesia di hadapan hadirin yang hadir di gedung tersebut.
Usai penampilan tersebut, aku diminta untuk berbicara 2 menit tentang diriku sekaligus memperkenalkan bahwa aku dari Indonesia. Asisten kepala sekolah yang kebetulan menjadi pengatur acara mempersilahkanku naik ke panggung dan aku pun akhirnya berbicara kepada mereka untuk mengucapkan terima kasih atas dipromosikannya negara tercinta Indonesia. Saat aku berbicara banyak yang ngak nyangka juga bahwa di ruangan tersebut ada orang Indonesia, karena mayoritas yang hadir adalah Muslim keturunan Guyana dan Timur Tengah.
Pesta multikultural itu pun akhirnya selesai sebelum shalat Jum’at. Siswa, guru, dan orang tua dipersilahkan untuk mencicipi makanan yang disajikan dalam menu multi-etnik. Aku coba saat itu mencicipi makanan ala Pakistan, Guyana, China, dan Spanyol. Luar biasa, makanannya wu....enak sekali, lagian waktu itu aku sedang agak lapar karena belum sarapan. Aku membaur dengan para siswa untuk bareng makan ala parasmanan.
Selesai makan, semua siswa secara tertib berpindah ruangan ke ruangan sebelah untuk melaksanakan shalat Jum’at. Adzan pun dikumandangkan pada jam 1.30 oleh salah seorang siswa. Khatib kemudian naik mimbar dan memberikan khutbah dengan topik tentang multikultural. Shalat Jum’at selesai jam 2.30 dan anak-anak kemudian masuk kelas. Suatu yang luar biasa dan jarang terjadi di Indonesia adalah setelah acara tersebut anak-anak masuk kelas dan ada beberapa kelas yang kemudian langsung belajar dengan gurunya. Padahal kalau acara tersebut terjadi di Indonesia, siswa dan guru biasanya langsung pulang.
Inilah sekilas pengalaman menyaksikan Multicultural Fair di Al-Ihsan Academy yang sangat menarik. Bagi saya, kegiatan tersebut sebenarnya menjadi jawaban atas kecenderungan hasil pengolahan data statistik yang menyimpulkan sekolah tersebut memiliki semangat toleransi yang cukup tinggi dibandingkan dengan sekolah Islam lainnya di bilangan New york City.
Friday, December 22, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Intersting story!! It stimulate me to think how could we adopt such education system in our islamic schools. However, many islamic shools in Indonesia usualy say that they also expect to build the best education and school management system in their schools but they don't have adequate fund for that. I think, it would be good if Pak Rohmat Mulayana could also explore this issue in his research and share the result with us.
Post a Comment