Wednesday, November 22, 2006

Multikulturalisme dan Nilai Agama


Pikiran Rakyat, 01 November 2006
Oleh Dr. ROHMAT MULYANA

DEWASA ini buku yang mengangkat isu multikultural cukup banyak terbit di belahan dunia Barat. Menjamurnya buku tersebut seiring dengan adanya semangat komunal baru pada negara-negara maju yang berpenduduk heterogen. Setidaknya ada dua negara yang paling banyak menerbitkan buku-buku sejenis, yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Pada dua negara tersebut memang diversifikasi penduduk yang terdiri atas beragam etnik, ras, budaya, dan agama selalu menjadi bahan pembicaraan hangat. Apalagi tatanan politik global yang dibentuk oleh image benturan peradaban seperti yang ditulis Huntington (2002) seolah telah berhasil mengukuhkan hegemoni peradaban negara maju.

Isu multikultural kemudian semakin mengkristal dalam pandangan yang lebih ekstrem, yaitu multikulturalisme. Dengan adanya tambahan “isme” dari akar katanya (multikultural), istilah ini ternyata semakin tidak mudah dipahami. Bethany Bryson (2006), seorang profesor dari Universitas Virginia, mencoba menelusuri kompleksitas makna kata tersebut. Ia mewawancara sejumlah profesor berkaliber dalam urusan multikultural yang akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa makna istilah tersebut ternyata masih kabur dan perlu diperjuangkan.

Meski begitu, ada dua hal yang menarik dicermati dari hasil riset Bryson berkenaan dengan ditemukannya kecenderungan utama dalam memahami istilah multikulturalisme. Multikulturalisme sering dipersepsi sebagai politik pengajaran dan nilai keragaman pada tatanan masyarakat plural. Dua istilah tersebut sebenarnya terkait erat dengan dunia pendidikan yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengecualikan (mutually exclusive), bahkan dapat dikatakan ibarat dua sisi uang yang berbeda.

Isu multikulturalisme sebenarnya tidak terlepas dari tatanan politik global. Dunia Barat yang kini sedang berupaya mengubah tatanan dunia baru agar menjadi “miliknya” mengangkat isu multikulturalisme sebagai tema penting yang ditawarkan dalam mengubah citra masyarakat heterogen. Memang luar biasa, dalam prinsip pendidikan multikultural misalnya, pengakuan terhadap perbedaan menjadi hal yang sangat diutamakan. Hak asasi individu atau kelompok apa pun bentuk keunikannya memperoleh tempat yang terhormat di mata multikulturalisme. Bahkan orientasi seksual semacam homoseksual sekalipun secara perlahan memperoleh tempat di tengah masyarakat Barat.

Dari sinilah kemudian berkembang semangat komunitas yang mencampuradukkan antara keragaman dengan keagamaan, antara yang eksoterik dengan yang esoterik. Setiap keunikan budaya dibiarkan berkembang, namun pada saat yang sama interaksi trans-budaya yang inferior dengan budaya yang superior dapat menyebabkan semakin lunturnya nilai-nilai budaya pada kalangan minoritas yang cenderung inferior. Karena salah satu elemen pembentuk kebudayaan adalah agama, maka keadaan ini sesungguhnya dapat menggambarkan terjadinya pengikisan nilai-nilai agama secara perlahan.

Pada kejadian semacam itu, dampak multikulturalisme dapat menerobos jauh pada wilayah nilai-nilai intrinsik suatu keyakinan agama. Saat nilai agama sudah dilenturkan untuk mengikuti irama masyarakat yang plural, maka batas-batas elemen identitas suatu komunitas beragama dipastikan akan semakin kabur manakala berada dalam posisi yang kalah jumlah, kalah kualitas, dan kalah power. Sementara di lain pihak komunitas beragama yang memiliki superioritas budaya, ekonomi, dan politik akan semakin diuntungkan.

Karena itu, dengan asumsi agama berperan penting dalam pembentukan budaya, maka apa yang terkandung dalam gagasan multikulturalisme sesungguhnya menyangkut eksistensi agama itu sendiri. Agama bukan hanya diakui sebagai kekayaaan yang unik tetapi bisa menjadi sesuatu yang ikut lebur dalam tempat percampuran (melting pot) budaya yang diakui sebagai milik bersama. Ini sesungguhnya berpotensi untuk melahirkan —meminjam istilah Harold Titus (1979)— perang nilai (war of values) yang sebenarnya lebih dahsyat ketimbang sebuah benturan peradaban seperti yang digambarkan Huntington. Kekalahan dalam perang nilai dapat melahirkan penyakit schizophrenia, kepribadian ganda, atau bahkan kehilangan jati diri sama sekali pada kalangan generasi muda.

Inilah sebenarnya gejala yang dikhawatirkan banyak kalangan pada tatanan dunia global. Dalam bukunya Our Endangered Values, mantan Presiden Amerika Jimmy Carter menggarisbawahi adanya krisis moral pada bangsa Amerika yang pada gilirannya memerlukan penguatan semangat religius dalam perspektif agama Kristen. Begitu juga John Esposito, seorang profesor dari Georgetown University yang memiliki perhatian besar terhadap Islam mensinyalir adanya dampak multikulturalisme dan pluralisme terhadap sistem keyakinan suatu komunitas Muslim. Bagi Esposito, pengakuan terhadap keragaman yang ada dalam agama lain tidak harus melemahkan sistem keyakinan umat Islam.

Kekhawatiran tersebut sebenarnya telah terjadi pada sebagian masyarakat kita. Bahkan boleh jadi dampak multikulturalisme ini telah berkembang dalam spesies yang berbeda dari apa yang terjadi di negara asalnya. Pencampuran budaya pada masyarakat plural di belahan dunia Barat tampaknya masih diimbangi oleh kemampuan menimbang secara kritis terhadap pengalaman hidup yang penuh tantangan akibat perbedaan. Namun tidak demikian dengan apa yang terjadi dalam masyarakat kita. Multikulturalisme yang dipromosikan melalui dunia maya seperti televisi, VCD, film, internet, dll., diakui ataupun tidak, telah membentuk kerelaan sosial kawula muda secara masal untuk menerima budaya orang lain yang sebenarnya dapat membengkokkan keyakinan kita terhadap kaidah agama. Di sisi lain, gerakan intelektual yang cenderung kebablasan dalam menerjemahkan toleransi beragama juga sesekali terjadi.

Fenomena tersebut muncul bukan hanya karena kuatnya pengaruh perlintasan budaya dan paham multikulturalisme saat ini, tetapi juga akibat keadaan generasi muda masyarakat kita yang kurang melek spiritualitas dan pemahaman agamanya. Ini adalah tantangan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama, dalam menyiapkan generasi muda. Untuk itu, yang kita butuhkan sekarang ini adalah model pendidikan agama yang mampu membentuk cara pandang terbuka, toleran, dan simpatik terhadap perbedaan, namun di sisi lain keimanan dan perwujudan syariat agama harus menjadi basis utama bagi pengembangan semua tatanan berpikir dan sikap sosial tersebut.***


Penulis, dosen UIN Bandung, sedang mengikuti “Post-Doctor Visiting Scholar Program” di Columbia University, AS.

Hikmah Lebaran di Kota New York


Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2006

Oleh Dr. Rohmat Mulyana


Gema takbir mendorong kesadaran fitrah insaniah yang pada gilirannya melahirkan kerelaan untuk saling memaafkan.

BERPUASA dan merayakan Lebaran di negeri orang tentu berbeda dari Lebaran di negeri sendiri. Setidaknya, kultur kehidupan yang berbeda membuat pengalaman yang berbeda. Selain itu, ibadah puasa dan hari Lebaran di negeri yang mayoritas penduduknya non-Muslim akan memberikan kesan dan pengalaman tersendiri.

Tulisan ini hanya sekelumit pengalaman ibadah puasa dan merayakan Lebaran di Kota New York. Di kota ini terdapat 3.601 (1,56%) umat Islam Indonesia (Beveridge, 2005). Jumlah ini belum termasuk mereka yang hanya sekadar mampir untuk tugas sementara di kota yang terkenal dengan sebutan The Big Apple ini. Karena itu, suasana puasa dan Lebaran menjadi semarak dan bermakna saat berkumpul bersama.

Puasa Ramadan


Menjelang Ramadan, umat Islam di New York masih sibuk bekerja di berbagai sektor usaha dan instansi pemerintahan. Berangkat pagi pulang malam adalah kebiasaan mayoritas penduduk di kota megapolitan ini. Begitu juga masyarakat Muslim Indonesia yang mencari nafkah di berbagai sektor usaha, bekerja mengikuti dinamika masyarakat setempat.
Kesibukan juga nyaris membuat penulis kecolongan start puasa. Maklum, saat itu tinggal di New York City baru tiga pekan dan masih mengalami culture shock. Selain itu, informasi tentang awal masuk bulan Ramadan belum ada kepastian dari Dewan Masjid Al-Hikmah di Long Island City.

Muslim Indonesia di Kota New York dan sekitarnya secara serempak memulai puasa 24 Oktober 2006. Hari demi hari terus berjalan. Muslim Indonesia yang tinggal di New York memperkokoh keimanan dan persaudaraan melalui berbagai kegiatan di Masjid Al-Hikmah. Mereka berbagi makanan dan minuman pada saat berbuka puasa, melakukan iktikaf bersama pada 10 hari terakhir, mengikuti open-house, dan mengkaji Islam di saat weekend.

Suatu fenomena yang menarik adalah manakala tugas menyediakan makanan untuk berbuka puasa di saat weekend dibagi berdasarkan ciri khas makanan daerah masing-masing. Makanan khas Sunda, Jawa, Makassar, dan Padang disajikan pada jadwal buka puasa yang diatur oleh Dewan Masjid agar cita rasa menu terasa berbeda. Tak ketinggalan Konsulat Jenderal RI di New York City, juga ikut bergabung dengan menyajikan cita rasa bernuansa multietnik. Karena itu, bagi yang rajin datang atau iktikaf di masjid, ilmu dan keimanannya akan bertambah dan biaya hidupnya pun akan lebih irit.

Lebaran tiba

Gema takbir menyatu dengan takbir di seluruh penjuru dunia. Muslim Indonesia dan Muslim dari berbagai negara lain melakukan salat Idulfitri di masjid Al-Hikmah, satu-satunya masjid milik komunitas Indonesia di daratan Amerika. Udara musim gugur yang sangat dingin menambah kekhusukan jemaah dalam melaksanakan salat Idulfitri yang jatuh 23 Oktober 2006.

Berlebaran di kota tempat runtuhnya menara WTC memang dirasakan sangat bermakna. Perasaan bahagia menjadi milik bersama. Setiap orang mencoba melekatkan diri pada fitrahnya sebagai autensitas kesucian yang dibawa sejak lahir seraya memohon ampunan Allah SWT di saat suasana kebeningan hati dimiliki.

Hati terus dibimbing oleh ucapan kalimah takbir yang berulang-ulang menyebut kebesaran Allah SWT, sekaligus mengakui betapa manusia tidak ada artinya di hadapan-Nya. "Walitukabbirullaha 'ala hadakum wa la'allakum tasykurun (Dan hendaklah kamu bertakbir mengagungkan Allah terhadap petunjuk yang diberikan kepadamu. Mudah-mudahan kamu bersyukur)", firman Allah dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 185.

Gema takbir mendorong kesadaran fitrah insaniyah yang pada gilirannya melahirkan kerelaan untuk saling memaafkan. Derai air mata dan keikhlasan memberi maaf menyatu dalam kerumunan jemaah selepas melaksanakan salat Idulfitri. Semua orang rasanya menjadi saudara sendiri, meski mereka berasal dari suku, etnik, dan bangsa yang berbeda. Tidak ada prasangka buruk sedikit pun saat itu. Yang ada hanyalah panggilan hati untuk secara ikhlas memaafkan semua kesalahan orang.

Kebeningan hati juga memunculkan rasa rindu pada keluarga yang tinggal di kampung halaman. Imam Syamsi Ali seorang dai kondang kelahiran Makassar yang sudah 9 tahun di New York, mengakui bahwa hari Lebaran merupakan momen yang paling sering mengingatkan dirinya ke masa lalu saat masih tinggal di Indonesia. "Setelah lama tinggal di sini, saya semakin jarang bertemu orang tua. Semoga Allah memberikan kesehatan kepada mereka," demikian kata imam yang menjadi kebanggaan Muslim Indonesia di New York dan sekitarnya. Kerinduan yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad Padang, seorang mantan diplomat PBB sekaligus pemuka agama di New York.

Memang sangat wajar, bagi orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia kerinduan semacam itu dapat muncul seketika. Lain halnya dengan anak-anak yang lahir dan dibesarkan di Amerika, mereka sepertinya tidak mengalami relung hati yang dirasakan orang tuanya. Suasana Lebaran bagi mereka adalah saat yang tepat untuk memohon maaf kepada orang tuanya dan melepas kangen dengan rekan-rekannya. Inilah sekelumit peristiwa dari negeri orang saat datang dan berakhirnya bulan Ramadan 1427 Hijriyah. Tentu di tempat lain juga merasakan kebahagiaan seperti yang dialami Muslim Indonesia di New York. Semoga hari kemenangan ini benar-benar membimbing kesadaran spiritual kita yang berwujud amaliyah jangka panjang. Mari kita tetapkan kehidupan pasca-Ramadan yang lebih baik. Selamat tinggal Ramadan.


(Dr. Rohmat Mulyana, Direktur Madrasah Development Center (MDC) Jawa Barat, Post-Doctor Visiting Scholar di Columbia University, AS.)***

Menyoal Pendidikan Nilai di Sekolah


Pikiran Rakyat, 17 Oktober 2006

Oleh Dr. ROHMAT MULYANA

ACAPKALI nilai dipikirkan terlampau filosofis, sehingga kurang berakar pada usaha nyata yang perlu dilakukan melalui pendidikan. Ahli pendidikan saat ini masih banyak yang asyik membicarakan nilai pada wilayah aksiologi, ketimbang aksi. Padahal nilai, apa pun bentuknya, melekat pada sejarah hidup yang terikat kuat pada fakta perbuatan setiap orang.

Secara praktis, nilai berarti kebermaknaan tindakan atau perbuatan yang dirasakan langsung oleh yang bersangkutan atau dipersepsi orang lain. Sumbernya cukup beragam bergantung pada kerangka rujukan (frame of reference) yang dijadikan dasar dalam bertindak. Nilai dapat bermakna positif atau negatif, sehingga upaya pendidikan perlu menumbuhkan nilai-nilai yang positif dan mencegah tumbuhnya nilai-nilai yang negatif.

Fenomena nilai dewasa ini sangat mudah ditemukan dalam perbandingan yang sangat kontradiktif. Ketika di suatu tempat terdapat kemewahan di tempat lain terjadi kemiskinan dan kepapaan. Saat sekelompok orang berjuang membela keadilan, masih banyak pihak yang menyebar kezaliman. Ada yang berupaya menyemai perdamaian, ada pula yang menebar benih-benih permusuhan. Ada orang yang cinta kebersihan, namun ada pula yang terbiasa hidup kotor. Dan masih banyak lagi contoh lain yang sejenis.

Itu semua menjadi tantangan pendidikan dewasa ini. Tugas pendidikan untuk memperbaiki sistem sosial yang karut-marut akibat tindakan individu atau kelompok yang cenderung antisosial merupakan perkerjaan yang tidak mudah. Berbagai upaya perlu dilakukan dan pekerjaan ini dipastikan membutuhkan waktu dalam hitungan generasi untuk dapat mewujudkan budaya masyarakat yang berbasis nilai-nilai keutamaan.

Sebuah pelajaran yang berharga dalam membumikan nilai sosial melalui pendidikan dapat kita ambil dari negara-negara yang telah memiliki tatanan sosial dan sistem pendidikan yang lebih mapan. Di Malaysia, misalnya, pendidikan moral diajarkan secara lebih serius melalui asas-asas etika sosial baik secara normatif maupun deskriptif. Pembelajaran dikembangkan melalui pendekatan penyelesaian konflik moral yang menawarkan isu-isu sosial yang aktual (Wikimepia, 2006).

Di Amerika Serikat, pembelajaran nilai sosial melalui pendidikan ternyata telah menjadi sebuah tradisi yang berkembang cukup lama. Seperti dinyatakan John LaMachia (2000), sejak munculnya kesadaran kolektif dalam bentuk kesadaran komunalisme dan pluralisme, isu-isu sosial yang menjadi akar syakwasangka dan diskriminasi yang terjadi beberapa tahun lampau dibedah kembali dalam sejumlah buku yang menjadi bahan pelajaran para peserta didik. Cara ini ternyata sangat menarik karena pembelajaran nilai lebih berbasis pada kasus-kasus sosial nyata yang tidak boleh terulang kembali pada masyarakat Amerika. Inilah yang mereka sebut sebagai belajar dari kesalahan sejarah untuk menumbuhkan kesadaran sejarah.

Dua contoh pembelajaran nilai tadi sebenarnya menjelaskan apa yang belum banyak terjadi pada pengembangan kurikulum pendidikan kita. Dalam kurikulum pendidikan kita, pembelajaran asas-asas etika normatif seperti yang dilakukan di Malaysia belum secara utuh dipadukan dengan kajian realitas sosial masyarakat kita.

Asas-asas etika normatif acapkali dipelajari terlalu definitif dan berorientasi pada pengisian daya memori jangka pendek. Akibatnya, siswa seolah dipandu ke arah berpikir diskrit berdasarkan timbunan pilahan pengetahuan yang kurang memiliki perambatan alur berpikir fungsional dan skematik.

Demikian pula, tradisi belajar nilai dari kesalahan sejarah tampaknya belum difungsikan secara serius dalam pendidikan kita. Sejarah pada bangsa kita masih sering dipersepsi sebagai cerita orang-orang besar dengan semangat heroik pada zamannya. Itulah sebabnya penyajian sejarah bangsa kita masih datar, kurang berelung, dan kurang berorientasi pemecahan masalah. Kasus-kasus antisosial seperti diskriminasi, syakwasangka, korupsi, kolusi, nepotisme, dan sejenisnya yang sebenarnya menjadi sisi buram sejarah bangsa kita belum menjadi ramuan bahan pelajaran yang dianalisis secara cerdas dampak negatifnya sehingga melahirkan kedewasaan berpikir dan sikap pro-sosial pada peserta terdidik.

Sementara ini pembelajaran nilai -- yang menurut Thapar (2003) sebagai jantung dari segala pengalaman belajar -- tampak kurang mengemuka dalam dunia persekolahan kita. Isu-isu sosial yang berkembang seolah dibiarkan berlalu begitu saja, hilang dari ingatan kita. Perhatian kita semuanya tertuju pada upaya peningkatan akademis peserta didik yang lebih tampak dan terukur, sedangkan aspek pengembangan nilai yang sebenarnya menjadi inti pengalaman pembelajaran masih kurang terberdayakan.

Karena itu, perbaikan sistem pembelajaran nilai, khususnya untuk nilai-nilai sosial memerlukan adanya gerakan pedagogis kritis yang secara perlahan dapat mengubah tatanan berpikir ke arah yang lebih terbuka, kritis, dan bijaksana. Di samping itu pula, kehendak politik pendidikan yang kondusif bagi eksplorasi nilai dan penguatan hukum yang sungguh-sungguh untuk perbaikan citra sosial menjadi elemen penting yang tidak terpisahkan dari upaya tersebut.***


Penulis, dosen UIN Bandung, sedang mengikuti "Post-Doctor Visiting Scholar Program" di Columbia University, AS.

Dinamika Muslim di AS

Pikiran Rakyat, 8 Oktober 2006

Oleh Dr. ROHMAT MULYANA

MENJADI hal yang istimewa bagi siapa pun yang memperoleh kesempatan berkunjung ke Amerika Serikat (AS). Betapa tidak, negara yang berpenduduk sekira 296 juta ini berada pada jarak setengah putaran bumi dari Indonesia. Sekali perjalanan ke Amerika sama dengan telah melewati setengah lingkaran bumi atau pulang pergi sama dengan telah mengelilingi bumi.

Letak geografis Amerika yang sangat jauh dari Indonesia membuat waktu kehidupan keduanya sangat berbeda. Ketika masyarakat Indonesia baru bangun tidur di pagi hari, masyarakat Amerika pada umumnya baru pulang kerja dan hendak menjemput tidur panjang di malam hari. Begitu juga, ketika umat Islam di Indonesia sedang melakukan makan sahur, Muslim Amerika justru sedang merasakan lapar dan dahaga di tengah-tengah masyarakat yang pada umumnya tidak berpuasa.

Di negeri Paman Sam ini berkembang komunitas Muslim dari beragam keturunan seperti Timur Tengah, Arab, Asia, Afrika, dan Eropa. Mereka hidup sangat bersahabat dan penuh hangat dalam memberikan sambutan. Persaudaraan antarmereka makin tampak setelah datangnya bulan Ramadan 1427 H. Ucapan salam, brother, dan sister kerap terdengar dalam pembicaraan mereka. Ini benar-benar suatu kehidupan yang sangat indah dalam suatu masyarakat plural yang lahir dari berbagai ras dan etnik dengan latar budaya yang beraneka ragam. Ciri fisik dan karakter individu hanyalah hal eksoterik yang tampil berbeda, tetapi pada keragaman itu terdapat hal esoterik yang mengikat persaudaraan antara mereka, yakni dienul Islam.

Dalam komunitas masyarakat Muslim Amerika, makna lita'arafu seperti yang tercantum dalam Q.S. Al-Hujurat 49:13 benar-benar menjadi pengalaman yang menyatu dengan realitas sosial. Perkenalan antarsesama Muslim, bahkan dengan non-Muslim sekalipun, dirasakan sangat bersahabat. Di sudut kota Elmhust, misalnya, ada Indonesian Community Center (ICC) tempat berkumpulnya orang Indonesia dari berbagai latar belakang keyakinan. Pada sejumlah toko makanan (grocery) milik orang Islam juga dibagikan jadwal salat, buka puasa, dan sahur sambil mengajak buka bersama di masjid-masjid terdekat.

Kini di Amerika terdapat 1.209 masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam. Masjid tersebut rata-rata didirikan oleh komunitas Islam yang awalnya menghimpun dana dari ikatan persaudaraan seetnik dan sebangsa. Muslim keturunan Pakistan, misalnya, mengumpulkan funding dari komunitas mereka untuk membangun Masjid Omar Ben Abdel-Aziz di bilangan Jamaica. Begitu juga, Muslim Indonesia melakukan hal serupa dengan mendirikan Masjid Al-Hikmah di Long Island City yang dibangun sejak tahun 1994. Kini masjid milik komunitas Muslim Indonesia ini berdiri kokoh di tengah kota yang mayoritas penduduknya non-Muslim.

Perkembangan jumlah masjid yang demikian cepat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir sebenarnya seiring dengan pertambahan jumlah Muslim penduduk Amerika. Office of International Information Programs, US Department of State menyinyalir bahwa Islam menjadi salah satu agama di Amerika yang paling cepat berkembang saat ini. Penduduk Muslim Amerika saat ini mencapai sekira 8 juta jiwa. Ini artinya selama 15 tahun terakhir jumlah penduduk Muslim Amerika telah meningkat sekitar 1.500 kali dari populasi tahun 1991 yang menurut laporan World Almanac saat itu hanya 5.200 orang.

Kebebasan beragama yang dijamin oleh US Constitution and Bill of Right telah memberikan peluang pada warganya untuk menentukan afiliasi keyakinanya. Seperti yang dilansir The Bureu of Democracy, Human Right, ang Labor Affairs (1999), toleransi beragama dan pengharaan terhadap keyakinan yang berbeda merupakan elemen utama dari nilai inti dan pengalaman bangsa Amerika. Penghargaan ini pun sebenarnya berlaku pada setiap aspek kehidupan yang menyangkut toleransi dan penghargaan terhadap etnik, ras, budaya, etika, dan perilaku-perilaku unik individu.

Dalam konteks ini, memang tepat apa yang dinyatakan Lawrence Fuchs (1991) dalam bukunya The American Kaleidoscope yang menyatakan bahwa keragaman bangsa Amerika tidak untuk disatukan ke dalam kuali pelebur agar menjadi sama, sehingga mozaik keragamannya dibiarkan tampil ibarat oase yang sangat indah.

Pada masyarakat yang serba rupa (colorful), Muslim Amerika dapat hidup bertahan dan komunitas mereka semakin lama semakin bertambah. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat komunitas Muslim terus meningkat jumlahnya, yaitu bertambahnya imigran yang beragama Islam, terutama dari wilayah Timur Tengah dan negara-negara Arab, kelahiran anak-anak dari keluarga Muslim, dan konversi agama. Suatu hal yang fantastik dinyatakan dalam laporan American Muslim Council (AMC), bahwa sekitar 25% dari jumlah Muslim Amerika adalah "pendatang baru" (mualaf).

Dari sisi pelayanan pendidikan, masyarakat Muslim Amerika juga memiliki prestasi tersendiri. Kini terdapat sekira 250 Islamic Schools yang memberikan pelayanan pendidikan formal kepada anak-anak keluarga Muslim. Jumlah ini sebenarnya belum termasuk Sunday Islamic Schools yang hanya memberikan pelayanan pendidikan agama seminggu sekali di masjid-masjid. Menurut The Los Angeles Time jumlah masjid yang biasa menyelenggarakan kegiatan tersebut mencapai lebih dari 500 buah.

Inilah sekelumit dinamika komunitas Muslim Amerika saat ini. Masih banyak hal yang belum diungkapkan terutama berkenaan dengan realitas sosial yang selalu menguji daya tahan keyakinan mereka. Bagi masyarakat Muslim Amerika hidup sebagai minoritas di negara super power yang sedang giat memerangi "terorisme", mengusung sekularisme, dan mengedepankan kebebasan individu dapat dipastikan tidak gampang dan penuh perjuangan. Semangat dan daya juang yang tinggi menjadi modal utama mereka untuk dapat hidup secara kompetitif, sebab pada wilayah akar rumput, terutama setelah terjadinya nine eleven tragedy, diskriminasi sosial dan ekonomi ternyata masih mungkin terjadi.***

Penulis, dosen UIN Bandung, sedang mengikuti Post-Doctor Visiting Scholar Program di Columbia University, AS.

Puisi ESQ (2)


Lentera Hati

Selepas kuikuti training ESQ

Semangatku berhasrat maju

Ihktiarku semakin terpacu

Langkahku bersaing dengan waktu


Aku faham, masa depan sedang kunanti

Relung kehidupan sedang kualami

Pengetahuan harus kugali

Pekerjaan harus kuabdi


Aku optimis, karyaku terus meningkat

Kreativitasku semakin mengeliat

Komitmenku semakin melekat

Pandanganku semakin cermat


Aku yakin, prinsip hidupku makin menyatu

Tujuan hidupku makin menentu

Tindakanku makin berilmu

Perangaiku makin tawadhu


Kini hidupku mengenal jati diri

Niatku lurus kembali

Perangaiku tampil berseri

Hatiku disinari cahaya ilahi


Segala puji bagi Allah, Pemilik Sekalian Alam


Bandung 30 Juni 2005

TTD

Rohmat Mulyana

Puisi ESQ (1)


Balada Hati


Kali pertama hadir di pelatihan ESQ

Aku tak sepenuhnya kenal siapa diriku

Nafsu memenjara kesadaranku

Dosa menghijab kerelaanku


Saat tanda-tanda kekuasaan Allah dihadirkan

Detak jangtungku dipacu suara keajaiban

Sorot mataku tertuju pada alam kejadian

Gendang telingaku didera ayat al-Qur’an


Diriku tak ada artinya di hadapan-Mu

Ikhtiarku jauh dari keridhaan-Mu

Perbuatanku terasing dari sifat-sifat-Mu

Azamku terputus dari tali-ikatan dengan Mu


Aku telah kehilangan makna hakiki

Pikiranku tercekoki persepsi

Batinku tertutupi dengki

Aku tak lekat dengan nilai-nilai ilahi


Jiwaku mencoba mengembara

Aku bertanya apa yang ada dalam raga

Mata hatiku berbicara

Kau adalah orang tak sadar dosa


Jejak kehidupanku terus kutelusuri

Lorong-lorong waktu kuikuti

Pengalaman hidup kukenali

Karakter diri kutelanjangi


Saat kusadari hidupku tak pasti

Tubuhku gemetar diguncang suara hati

Batinku menangis peri

Air mataku berderai tiada henti


Aku bersujud di hadapan-Mu, ya Allah

Aku mohon ampun dari-Mu, ya Allah

Aku mohon bimbingan-Mu, ya Allah

Aku mohon perlindungan-Mu, ya Allah


Aku tahu, air mataku bukan tanda kegembiraanku

Air mataku adalah tanda kekhawatiranku

Air mataku adalah bukti ketakutanku

Air mataku adalah cermin penyesalanku


Aku pun tahu, sujudku bukan bagian dari shalatku

Tangisanku bukan untuk dukaku

Getar tubuhku bukan hawa nafsuku

Semua itu, hanya karena aku rindu pada-Mu


Maha Suci Allah, Sang Penggenggam hati, Pemilik Asmaul Husna


Bandung, 30 Juni 2005


TTD

Rohmat Mulyana

Alumni Pelatihan ESQ PP-2 Bandung

Crash Training Program (CTP)


CTP; Kiat Mendongkrak Mutu Pembelajaran
Oleh Tim MDC Jabar

“Sekolah kami mengalami peningkatan yang cukup signifikan dengan adanya CTP.” Demikian tutur salah seorang guru bahasa Inggris yang menjadi peserta Crash Training Program (CTP) saat dilakukan monitoring belajar jarak jauh (distance learning). Pernyataan ini diungkapkan dengan penuh optimistik oleh seorang guru MTs swasta yang mengaku sekolahnya jarang tersentuh program-program peningkatan mutu.

Pernyataan tersebut boleh jadi dikesani berlebihan, jika dilihat dari keseluruhan proses pembelajaran di MTs. CTP hanyalah bagian dari keseluruhan proses pembelajaran di suatu madrasah yang berupaya untuk memberikan dampak tumbukan terhadap kualitas pembelajaran di madrasah.

Hal yang paling menarik untuk dicermati sebenarnya bukan pada struktur muka pernyataan tersebut, melainkan pada lahirnya semangat optimistik dari seorang guru MTs swasta yang berstatus guru honorer. Ia merasakan betapa kini ia lebih diperhatikan untuk menjadi guru yang profesional dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya. Ia pun merasa dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam merekayasa proses pembelajaran.
Keyakinan dan semangat seperti ini sebenarnya yang paling diperlukan madrasah dalam mendongkrak mutu proses pembelajaran. Sebab, guru harus berperan sebagai motor penggerak proses pembelajaran sekaligus sebagai motivator dan fasilitator interaksi kelas.

Sebenarnya bukan hanya guru bahasa Inggris peserta CTP itu saja yang merasakan kemajuan dalam interaksi pembelajarannya. Mayoritas peserta juga merasakan hal yang sama. Bahkan para siswa ikut merasakan adanya perubahan kualitas pembelajaran yang dikembangkan guru peserta program. Begitu juga pada Kepala MTs menilai kegiatan ini memiliki banyak sisi positif bagi pengembangan kultur akademik madrasah.

Apa CTP itu? CTP adalah sebuah program pelatihan guru Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA yang dikembangkan atas kerjasama LAPIS-AusAID dengan MDC Jabar. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme guru MTs swasta. Secara lebih spesifik, output program ini diarahkan pada tiga aspek, yaitu: Pertama, peningkatan kemampuan peserta dalam menguasai materi pengajaran; kedua, peningkatan kemampuan peserta dalam memahami dan menerapkan model-model pembelajaran; dan ketiga, peningkatan kemampuan peserta dalam menuangkan rencana dan pengalaman mengajar secara tertulis melalui format portofolio.

Untuk mencapai tujuan tersebut, CTP kemudian dikembangkan kedalam tiga tahapan. Tahap pertama adalah Intensive Lecturer (IL) yang diselenggarakan selama enam hari di kota Bandung. Pada tahapan ini peserta diberikan pengetahuan dan latihan-latihan untuk pengembangan proses pembelajaran sesuai spesifikasi bidang studi. Sebanyak 90 orang guru diikutsertakan dalam kegiatan ini, yang terdiri atas 30 guru bahasa Inggris, 30 guru Matematika, dan 30 guru IPA. Peserta ini adalah mereka yang telah lulus tes seleksi peserta.
Tahap kedua adalah Distance Learning (DL) yang berlangsung selama dua bulan. Peserta yang telah memperoleh input pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai pendidik dikembalikan ke lembaga pendidikannya masing-masing. Mereka bekerja pada tugas rutinnya sebagai guru pada MTs tempat mereka bekerja. Dalam tahap ini mereka diberi tugas untuk mengembangkan pembelajaran dalam model lembaran portofolio. Setiap selang dua minggu mereka dikunjungi tim monitoring yang memeriksa kemajuan kegiatan belajar mengajar sekaligus memberikan saran-saran bagi perbaikan mutu proses pembelajaran.

Tahap ketiga adalah Intensive Workshop (IW) yang dipusatkan pada suatu lokasi untuk menampilkan dan mengevaluasi kegiatan belajar-mengajar yang telah dikembangkan guru peserta CTP. Pada tahapan ini semua instrumen pelatihan dievaluasi keefektifannya dan semua persoalan yang muncul dipecahkan bersama. Begitu juga diskusi tentang kemungkinan tindak lanjut CTP menjadi salah satu topik penting dalam tahapan ini.

Selama tiga bulan, mulai tanggal 01 Maret-30 Mei 2006, program ini terus dimonitor perkembangannya. Hasilnya ada banyak perubahan signifikan yang dialami peserta khususnya pada output yang telah disepakati bersama antara LAPIS-AusAID dengan MDC Jabar. Sebagai contoh, selama rentang waktu tersebut, terdapat 89% peserta bahasa Inggris, 76% dan peserta Matematika, dan 85% peserta IPA mengalami peningkatan penguasaan materi dari kemampuan mereka sebelumnya. Selain itu, pada aspek kemampuan aplikasi model-model pembelajaran, dan penyusunan rencana pembelajaran juga mengalami perkembangan yang sama, meski dalam persentase yang berbeda. Keadaan ini sungguh sangat menggembirakan mengingat kemampuan awal mereka sebelum mengikuti training tidak begitu memuaskan.

Apa sebenarnya pelajaran yang paling berharga dari CTP ini? Setidaknya ada empat hal yang dapat diidentifikasi sebagai inovasi training dimasa mendatang. Pertama, perbaikan mutu pendidikan melalui training guru dapat dimulai dari hal yang kecil dengan perhatian yang lebih serius dan terpusat pada penyelesaian suatu aspek pembelajaran. “Small is beautiful” adalah motto yang paling tepat dari model pelatihan semacam ini.

Kedua, pemberian perlakuan (treatment) dalam rentang waktu tertentu dapat memberikan dampak langsung bagi perbaikan mutu proses pembelajaran. Pada rentang waktu itu, selain peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran guru, juga diperlukan adanya dukungan alat peraga yang dapat mempermudah guru dalam mengajar. Kehadiran alat peraga bahasa Inggris, Matematika dan IPA pada program CTP ini terbukti dapat meningkatkan daya serap siswa dan keasyikan guru dalam berinteraksi dengan siswa.

Ketiga, suatu rekaman proses yang didukung oleh sejumlah instrumen ternyata menjadi alat yang ampuh bagi pemberian umpan balik (feed-back) proses pembelajaran. Penggunaan, modul, lembaran portofolio, dan instrumen lainnya telah mampu membimbing guru peserta CTP pada track pengajaran yang efektif dan benar.

Keempat, pengelolaan training dengan model manajemen yang fleksible, sebagaimana dikembangkan oleh LAPIS-AusAID, tampaknya perlu menjadi alternatif pengelolaan program training guru di masa mendatang. Melalui model ini, idealisme peningkatan kualitas dapat dipertaruhkan dan pemecahan masalah dapat dilakukan secara berkelanjutan. Dengan kata lain, penyelenggaraan training melalui manajemen yang fleksible dapat lebih menjamin tercapainya kualitas yang diharapkan.

Semoga pelajaran ini menjadi bahan renungan bersama bagi pemberdayaan komunitas guru dan perbaikan kualitas proses pembelajaran di madrasah. Kita tentunya berharap guru peserta CTP ini dapat menjadi penggerak mutu madrasah sehingga pada beberapa tahun mendatang madrasah, khsususnya MTs, dapat lebih memiliki daya kompetitif dan komparatif yang tinggi.**

Membaca Koran Pikiran Rakyat di AS



SEKARANG memang zaman sudah serba canggih. Berlangganan media cetak atau elektronik tidak perlu lagi menggunakan sistem tradisional sengan bayar cash. Semuanya serba otomatis cepat, dan akurat. Bahkan dalam banyak hal kemajuan teknologi banyak menawarkan peluang untuk efesiensi waktu, biaya, dan tenaga tanpa mengurangi makna yang diperoleh.

Berlangganan koran Pikiran Rakyat misalnya, tidak perlu bayar langsung kepada penerbit dengan rekening koran dan uang cash, tetapi cukup dengan membuka website www.PikiranRakyat.com di internet. Semua informasi yang tercakup dalam kolom koran tersebut setiap hari dapat dibaca dan dinikmati dari jauh. Bahkan membaca koran Pikiran Rakyat di AS bisa lebih dulu dari masyarakat Jawa Barat karena akses online Pikiran Rakyat dapat dilakukan pada sore hari sepulang bekerja, beberapa menit setelah di-lingkage dini hari oleh bagian dokumentasi Pikiran Rakyat.

Dapat dibayangkan, andaikata tidak ada teknologi canggih komputer dan sistem informasi jarak jauh, kita pasti perlu menunggu beberapa hari untuk dapat membaca Pikiran Rakyat di Amerika Serikat. Ongkosnya pun dipastikan akan sangat mahal dan informasi tentang kampung sendiri dijamin out-of-date alias kadaluarsa. Tapi tidak demikian apa yang dialami pada masa kini. Teknologi telah memberikan kemudahan untuk mengakses informasi dari segala penjuru dunia yang masuk pada jaring-jaring internet. Dalam hitungan detik atau menit file aslinya dalam bentuk naskah, gambar, sound, video, dll dapat dinikmati dari jauh.

Yang menarik, ternyata hampir setiap orang Jawa Barat yang tinggal di AS selalu menyempatkan membuka Pikiran Rakyat.com untuk menengok informasi di kampung halamannya. Pak Rurun Karma, misalnya, seorang warga Bandung yang sudah 35 tahun tinggal di New York, mengaku hampir setiap hari mengakses informasi di Jawa Barat melalui website Pikiran Rakyat. Dari koran inilah menurut Rurun, ia mengetahui banyak hal secara detail apa yang terjadi di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.

Ketika terjadi peristiwa longsor di TPA Leuwigajah yang berbuntut pada penumpukan sampah di sejumlah titik di kota Bandung, rata-rata masyarakat Bandung di AS mengetahui keadaan itu. Bahkan wujud simpati mereka terhadap korban Longsor di TPA Leuwigajah beberapa waktu silam sempat disalurkan lewat ormas keagamaan di Jawa Barat. Begitu juga ketika korban Tsunami di pantai selatan Pangandaran terjadi, mereka mengikuti kejadian tersebut dari koran Pikiran Rakyat di samping dari media cetak dan elektronik lainnya. Bagi mereka Pikiran Rakyat seolah telah mampu menyambungkan rasa kangen pada kampung halaman yang telah lama ditinggalkan. Karena itu menjelang lebaran, akses terhadap website Pikiran Rakyat mereka diakui meningkat seiring dengan kian menguatnya kerinduan pada keluarga, kerabat dan handaitaulan di kampung halaman.

Itulah dampak positif teknologi bagi penyebaran informasi yang sangat cepat dan akurat. McLuhan laman konstantanya tentang global vilage dan Alvin Toffler dalam bukunya yang berjudul The Third Wave jauh hari sudah memprediksi akan terjadi peristiwa perambatan informasi yang sangat cepat seperti yang dialami saat ini. Dunia satelit memang sudah mempermudah segalanya bagi kehidupan manusia, sehingga jarak tidak lagi berbanding linier dengan waktu. Setiap ruang dan kesempatan dapat menjadi sumber belajar, termasuk menggali infomasi dari koran Pikiran Rakyat saat kami tinggal di AS.**

International Conference di Singapura


Pengalaman Jadi Presenter

Aku orang yang senang mencoba sesuatu yang kiranya positif dan dapat memperkaya sejarah hidup. Beberapa waktu yang lalu, aku pernah mengikuti International Conference di National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapura. Kala itu aku tak sengaja mampir di website NIE yang tengah menawarkan call for paper untuk penyajian hasil penelitian atau makalah dalam konferensi tersebut. Aku coba buat abstrak karena waktu itu aku sedang menulis buku tentang Pembelajaran Nilai dalam Pendidikan Agama Islam. Eh…. tahunya direspon cepat oleh panitia dan aku diminta untuk menyerahkan makalah sebulan kemudian.

Waktu itu, aku memang belum pernah menjadi presenter dalam konferensi internasional. Pengalaman paling banter hanya sebatas menjadi peserta saja dalam beberapa konferensi sejenis. Namun ada dorongan yang demikian kuat untuk mencoba jadi presenter ketika aku ikut International Interfaith Seminar di UIN Syahida beberapa waktu sebelumnya. Seorang Keynote Speaker yang bernama Somvir, P.hD dari India menyatakan yakin bahwa aku mampu menjadi presenter dalam kegiatan berskala internasional. Aku pun semakin percaya diri dan coba berperan sebagai penyaji di NIE Singapura.

Menjelang kegiatan aku coba mempersiapkan semua yang diperkirakan akan dibutuhkan saat penyajian. Makalah yang dipesan oleh panitia segera aku susun dan dikirimkan lewat e-mail. Tugas ini selesai dalam jangka waktu 10 hari. Ya…. cukup lelah juga karena belum terbiasa menulis dalam bahasa Inggris yang polanya berbeda dari pola penulisan dalam bahasa Indonesia. Aku siapkan juga pointers untuk penyajian yang kira-kira strategis untuk disampaikan.

Makalah, abstrak, dan beberapa sofware yang diperlukan untuk penyajian akhirnya beres sekitar lima hari sebelum berangkat. Sekarang tinggal mencari dana untuk berangkat ke sana yang memang untuk presenter tidak diberikan bayaran apa-apa, kecuali fasilitas untuk akomodasi. Karenanya aku coba mencari dana ke berbagai instansi yang aku pernah mampir di sana. Waktu itu aku sebar 5 surat yang dialamatkan ke Puslitbang Depag Pusat, Fakultas Tarbiyah, UIN Bandung, dan dua penerbit buku (Alfabeta dan Rosda Karya). Hitung punya hitung ternyata dapat uang cukup lumayan hingga mencapai 6,2 juta. Hebaat juga aku pikir waktu itu. Sampai-sampai sempat ada keinginan untuk berbisnis konferensi internasional di beberapa negara agar mendapat sumbangan lain, he.. he…. Aku sadar sebenarnya mereka mau menyumbang karena aku jadi presenter, kalau hanya jadi peserta mungkin banyak yang ngak mau.

Akhirnya pada tanggal 29 Mei 2005 aku berangkat ke Singapura melalui pulau Batam. Penetapan tanggal ini keberangkatan ini dengan perhitungan satu hari sebelum mulai konferensi tanggal 30 Mei sampai 1 Juni 2005 aku sudah ada di Singapura. Maklum sudah terbiasa cari dispensasi, sebelum naik motor boat ke Singapura aku telepon dulu Pak Jafar Umar agar membantu memperoleh diskon fiskal. Waktu itu memang fiskal masih dapat diatur sana-sini, yang akhirnya aku dapat bayar hanya setengahnya. Tapi sekarang, katanya, udah ngak bisa lagi cara gituan semua orang yang bayar fiskal harus bayar penuh.

Sampai di daratan Singapura aku dijemput sama Pak Ali Nurdin, seorang dosen UIN Bandung yang sedang kuliah S3 di National University of Singapore (NUS). Aku ikut nebeng di apartemen Pak Ali selama lima hari sampai selesai acara konferensi.

Hari pertama aku hadir di Auditorium Conferensi untuk mendengarkan presentasi sejumlah Keynote Speakers dari berbagai perguruan tinggi di dunia. Saat itu aku tak punya rekan untuk berbicara saat makan, minum, atau saat istirahat sebelum masuk sesi berikutnya. Tapi ngak lama kemudian ada Mr Robyne Henderson dari New Zealand yang menyapa aku dan bertanya macam-macam tentang kehadiran saya di NIE. Wah akhirnya asyik juga saya dapat teman dan ternyata teman baru ini sama-sama mau jadi presenter dalam kajian multiliteracy.

Kegiatan konferensi di Auditorium melibatkan semua peserta, penyaji dan pembicara kunci. Makanya kegiatan konferensi pada sesi ini melibatkan banyak orang. Namun setelah sesi tersebut, peserta dibagi lagi ke dalam sejumlah ruangan bergantung pada minat masing-masing. Begitu juga para penyaji. Mereka sudah diatur untuk masuk ruang yang telah ditetapkan panitia. Pada hari ke dua aku dapat bagian untuk menyajikan makalah bersama Osborn Abey, P.hD dari Amerika dan Cristine Clark, P.hD dari Singapura. Aku mengira penyajian tersebut akan dipanelkan, eh ..tahunya seorang-seorang harus maju ke depan, berdiri di depan seperti lagi mengajar. Aku lupa bahwa konferensi tersebut tentang pedagogi bukan andragogi.

Saat penyajian aku gunakan bahasa Inggris alakadarnya. Aku percaya diri saja, karena orang Singapura juga punya gaya bahasa Inggris yang berbeda dari penutur aslinya. Akupun waktu itu menggunakan gaya Inggris Indonesia, bahkan mungkin Inggris-Sunda. Tapi alhamdulillah mereka mengerti juga apa yang saya sampaikan. Sayangnya ketika ada satu pertanyaan yang aku tidak begitu paham. Seorang peserta yang kelihatannya dari Indonesia kemudian mencoba menjelaskan maksud si penanya. Akupun akhirnya waktu itu mengerti apa yang ia tanyakan dan langsung memberi jawaban.

Selesai sesi aku penasaran pada orang yang ikut membantu menjelaskan pertanyaan tadi. Aku coba menghampiri dia dan aku tanya namanya. Eh.. ternyata dia Pak Zuhdi, MA dosen UIN Syahida yang tengah menyelesaikan S3 di McGill university, Canada. Dia sedang menuju pulang ke Indonesia untuk liburan, tapi sekalian menyajikan makalah dalam konferensi tersebut. Aku sendiri sebenarnya sangat berharap dapat ketemu dia karena sebelumnya sudah tahu bahwa ada seorang dosen UIN Syahida yang juga menjadi penyaji dalam konferensi tersebut. Setelah berkenalan akhirnya kami dapat lama-lama ngobrol sana-sini tentang berbagai hal terutama menyangkut UIN.

Selesai konferensi aku tanya kepada panitia barangkali ada sertifikat. Maklum waktu itu bayanganku akan pulang dengan membawa sertifikat yang bagus seperti yang diberikan dalam kegiatan sejenis di Indonesia. Ketika aku tanyakan kepada panitia, ternyata sertifikat itu tidak ada. Aku katakan, mengapa tidak ada? Mereka menyatakan memang kami tidak menyediakan sertifikat. Tapi akhirnya mereka membuat semacam surat khusus yang menjelaskan bahwa aku telah menjadi penyaji dalam konfetensi tersebut. Akhirnya aku sadar pula bahwa di Singapura ternyata yang dihargai bukan sertifikat, tetapi ilmunya. Inilah barangkali yang berbeda dengan apa yang terjadi di negara kita. Kegiatannya kecil, sertifikatnya mengkilap, he…he..

Tuesday, November 14, 2006

Puisi untuk Guru


Guruku

Wahai guruku, sang pengemban ilmu
Peranmu sangat berarti bagi hidupku
Aku kenal ilmu atas bimbinganmu
Aku pun paham kehidupan karena peranmu

Andaikan kau tak mengabdi
Banyak orang hidup tak pasti
Ilmu tak akan menjadi cahaya ilahi
Perbuatan tak akan berbuah budi pekerti

Ku do’akan agar kau selalu sehat
Ku do’akan pula agar kau hidup sejahtera
Baktimu semoga berguna bagi bangsa
Jasamu semoga mendapat banyak pahala

TTD
Rohmat Mulyana, 13 Maret 2005

Budaya Riset Dosen PTAIN


Oleh Dr. ROHMAT MULYANA

Pengalaman meneliti pada kalangan dosen PTAIN yang belum menggembirakan sebenarnya menjadi citra negatif bagi kalangan akademisi. Dunia kampus yang seharusnya menjadi pusat keunggulan (center of excellence) pengembangan ilmu pengetahuan terjebak rutinitas transformasi ilmu pengetahuan teoretis yang kurang fungsional. Ilmu pengetahuan diusung sebagai wacana yang kurang terajut baik dengan pemaknaan realitas yang berkembang.

BAGI perguruan tinggi (PT) terkemuka dunia, riset menjadi pilar utama peningkatan kualitas lembaga PT. Tradisi penelitian bagi mereka menjadi suatu yang tidak terpisahkan dari kebijakan akademik kampus yang berbasis informasi dan data hasil riset. Pada PT jenis ini, siklus penelitian dan pengembangan atau lebih dikenal sebagai R & D menjadi akar rumput pengembangan akademik yang menyatu dengan kultur kampus.

Berbeda dari keadaan tersebut, mayoritas perguruan tinggi kita, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), kultur penelitian tampaknya belum menjadi virus epidemik yang menularkan esprit d'crops penelitian sebagai semangat massal civitas kampus. Hasil telaah Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan terhadap 353 dosen PTAIN menunjukkan, semangat riset di kalangan dosen ternyata masih rendah. Dari jumlah tersebut, hanya terdapat 21,5% dosen yang melakukan penelitian secara serius dan berkelanjutan. Ini artinya, 2 orang dari 10 dosen PTAIN terbiasa melakukan riset untuk kebutuhan pengembangan profesinya, sedangkan yang lainnya diprediksi masih terjebak oleh budaya ilmu pengetahuan sebagai wacana.

Pengalaman meneliti pada kalangan dosen PTAIN yang belum menggembirakan sebenarnya menjadi citra negatif bagi kalangan akademisi. Dunia kampus yang seharusnya menjadi pusat keunggulan (center of excellence) pengembangan ilmu pengetahuan terjebak rutinitas transformasi ilmu pengetahuan teoretis yang kurang fungsional. Ilmu pengetahuan diusung sebagai wacana yang kurang terajut baik dengan pemaknaan realitas yang berkembang. Akibatnya, hikmah sebagai nilai intrinsik khazanah ilmu yang potensial muncul dari perpaduan makna teori dan praktik menjadi kurang dirasakan kalangan akademisi.

Sebuah iklan televisi yang berbunyi, "Ah, teori!" tampaknya rele­van dengan keadaan ini. Begitu juga sebuah analogi gunung es dari Hasan Langgulung dapat mewakili wacana akademik yang terjadi selama ini. Bagi Langgulung, pengembangan ilmu pengetahuan minus riset empiris ibarat mengembangkan ilmu pada bagian ujung tungkul bawah gunung es (under tip of iceberg). Pada bagian ini, prinsip, dalil, atau teori ilmu pengetahuan dapat berkembang, tetapi wacana pemanfaatan praktis yang berhubungan dengan realitas sosial seperti yang ia ibaratkan sebagai ujung tungkul atas gunung es (upper tip of iceberg) kurang terselesaikan dengan baik.
Perhatian yang demikian intensif terhadap wilayah ilmu pengetahuan normatif telah menyebabkan keterisolasian dunia kampus dari dinamika sosial dan perkembangan teknologi. Kampus kalah bersaing dengan konsistensi perubahan dunia luar yang secara perlahan mengooptasi wibawa kaum akademisi. Begitu juga, ruang kuliah menjadi ibarat pulau terasing yang penghuninya tidak mengenal dekat tuntutan dunia kerja dan relung perkembangan zaman di luar sana. Semua ini tiada lain sebagai akibat kurang intensifnya peranan riset empirik dalam membangun konstruksi ilmu pengetahuan di dunia kampus.

Sebab itu, tidaklah heran kalau kemudian tradisi riset di kalangan mahasiswa juga kurang bergairah. Duplikasi dan replikasi penulisan topik-topik skripsi kerap ditemukan dalam tugas akhir mahasiswa. Mereka seolah kebingungan menentukan apa yang semestinya ditulis karena perkuliahan metode riset sekalipun kurang merangsang pemikiran ke arah pengenalan isu-isu sosial dan pemecahannya secara kritis. Seringkali, saat mahasiswa mulai menulis skripsi, mereka terjebak pada perumusan judul, yang sebenarnya tidak lebih penting daripada perumusan masalah yang akan diteliti.

Budaya riset empiris yang kurang berkembang di kalangan dosen PTAIN juga dapat menghambat produktivitas karya tulis ilmiah mereka. Alih-alih penulisan buku, artikel, atau makalah terus dilakukan, karya tulis mereka menjadi kurang menggigit apabila tidak dilengkapi data dan informasi hasil telaahan. Hubungan pengalaman riset dengan tingkat produktivitas karya tulis dosen ini ternyata terbukti linier dan signifikan. Hasil riset Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan menunjukkan bahwa tingkat korelasi keduanya sangat signifikan (r = 0,67) pada tingkat kepercayaan p lebih kecil dari 0.001.Dengan kata lain, semakin miskin pengalaman meneliti, semakin sedikit pula produktivitas karya tulis ilmiah dosen PTAIN yang terpublikasi secara luas.

Mengomentari kurang bergairahnya mayoritas dosen dalam melakukan penelitian, seorang mantan Kapala Puslit sebuah PTAIN sempat berkomentar tentang fenomena kenaikan pangkat dosen yang pada umumnya lancar-lancar saja. Padahal dalam pandangannya, penelitian merupakan bagian Tri Darma PT yang menjadi salah satu komponen penting penghitungan kum kenaikan pangkat. "Kapan yah mereka melakukan penelitian?" tanya dia sambil bergurau.

Fenomena kelesuan riset tersebut sebenarnya dapat diatasi setidaknya melalui tiga strategi berikut. Pertama, suatu PTAIN dapat meningkatkan anggaran riset mendekati jumlah anggaran untuk pendidikan dan pengajaran. Kalau perlu, berikan reward atau apresiasi bagi para dosen peneliti terbaik. Kedua, jadikan riset sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam membangun kultur akademik kampus. Penciptaan kultur penelitian ini dapat dimulai dari praktik penelitian tindakan kelas (classroom action research) di kalangan dosen dan penelitian kecil-kecilan oleh mahasiswa. Ketiga, buka jaringan kerja sama penelitian dengan lembaga-lembaga penelitian lainnya. Puslit atau Lemlit PTAIN dalam hal ini dapat lebih berkompeten untuk secara proaktif menjemput kesempatan kerja sama penelitian yang tentunya dengan pertaruhan kualitas.

Jika tiga strategi tersebut dilakukan secara sinergis oleh semua pihak, budaya pemahaman ilmu sebagai wacana dapat dikurangi. Celah pemahaman antara teori dan praktik dapat dipersempit, dan pikiran-pikiran common sense dapat dihindari. Akhirnya, kita tentu berharap citra PTAIN sebagai research-based university dapat menjadi kenyataan. Wallahu a'lam bisshawab.***