Wednesday, November 22, 2006

Hikmah Lebaran di Kota New York


Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2006

Oleh Dr. Rohmat Mulyana


Gema takbir mendorong kesadaran fitrah insaniah yang pada gilirannya melahirkan kerelaan untuk saling memaafkan.

BERPUASA dan merayakan Lebaran di negeri orang tentu berbeda dari Lebaran di negeri sendiri. Setidaknya, kultur kehidupan yang berbeda membuat pengalaman yang berbeda. Selain itu, ibadah puasa dan hari Lebaran di negeri yang mayoritas penduduknya non-Muslim akan memberikan kesan dan pengalaman tersendiri.

Tulisan ini hanya sekelumit pengalaman ibadah puasa dan merayakan Lebaran di Kota New York. Di kota ini terdapat 3.601 (1,56%) umat Islam Indonesia (Beveridge, 2005). Jumlah ini belum termasuk mereka yang hanya sekadar mampir untuk tugas sementara di kota yang terkenal dengan sebutan The Big Apple ini. Karena itu, suasana puasa dan Lebaran menjadi semarak dan bermakna saat berkumpul bersama.

Puasa Ramadan


Menjelang Ramadan, umat Islam di New York masih sibuk bekerja di berbagai sektor usaha dan instansi pemerintahan. Berangkat pagi pulang malam adalah kebiasaan mayoritas penduduk di kota megapolitan ini. Begitu juga masyarakat Muslim Indonesia yang mencari nafkah di berbagai sektor usaha, bekerja mengikuti dinamika masyarakat setempat.
Kesibukan juga nyaris membuat penulis kecolongan start puasa. Maklum, saat itu tinggal di New York City baru tiga pekan dan masih mengalami culture shock. Selain itu, informasi tentang awal masuk bulan Ramadan belum ada kepastian dari Dewan Masjid Al-Hikmah di Long Island City.

Muslim Indonesia di Kota New York dan sekitarnya secara serempak memulai puasa 24 Oktober 2006. Hari demi hari terus berjalan. Muslim Indonesia yang tinggal di New York memperkokoh keimanan dan persaudaraan melalui berbagai kegiatan di Masjid Al-Hikmah. Mereka berbagi makanan dan minuman pada saat berbuka puasa, melakukan iktikaf bersama pada 10 hari terakhir, mengikuti open-house, dan mengkaji Islam di saat weekend.

Suatu fenomena yang menarik adalah manakala tugas menyediakan makanan untuk berbuka puasa di saat weekend dibagi berdasarkan ciri khas makanan daerah masing-masing. Makanan khas Sunda, Jawa, Makassar, dan Padang disajikan pada jadwal buka puasa yang diatur oleh Dewan Masjid agar cita rasa menu terasa berbeda. Tak ketinggalan Konsulat Jenderal RI di New York City, juga ikut bergabung dengan menyajikan cita rasa bernuansa multietnik. Karena itu, bagi yang rajin datang atau iktikaf di masjid, ilmu dan keimanannya akan bertambah dan biaya hidupnya pun akan lebih irit.

Lebaran tiba

Gema takbir menyatu dengan takbir di seluruh penjuru dunia. Muslim Indonesia dan Muslim dari berbagai negara lain melakukan salat Idulfitri di masjid Al-Hikmah, satu-satunya masjid milik komunitas Indonesia di daratan Amerika. Udara musim gugur yang sangat dingin menambah kekhusukan jemaah dalam melaksanakan salat Idulfitri yang jatuh 23 Oktober 2006.

Berlebaran di kota tempat runtuhnya menara WTC memang dirasakan sangat bermakna. Perasaan bahagia menjadi milik bersama. Setiap orang mencoba melekatkan diri pada fitrahnya sebagai autensitas kesucian yang dibawa sejak lahir seraya memohon ampunan Allah SWT di saat suasana kebeningan hati dimiliki.

Hati terus dibimbing oleh ucapan kalimah takbir yang berulang-ulang menyebut kebesaran Allah SWT, sekaligus mengakui betapa manusia tidak ada artinya di hadapan-Nya. "Walitukabbirullaha 'ala hadakum wa la'allakum tasykurun (Dan hendaklah kamu bertakbir mengagungkan Allah terhadap petunjuk yang diberikan kepadamu. Mudah-mudahan kamu bersyukur)", firman Allah dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 185.

Gema takbir mendorong kesadaran fitrah insaniyah yang pada gilirannya melahirkan kerelaan untuk saling memaafkan. Derai air mata dan keikhlasan memberi maaf menyatu dalam kerumunan jemaah selepas melaksanakan salat Idulfitri. Semua orang rasanya menjadi saudara sendiri, meski mereka berasal dari suku, etnik, dan bangsa yang berbeda. Tidak ada prasangka buruk sedikit pun saat itu. Yang ada hanyalah panggilan hati untuk secara ikhlas memaafkan semua kesalahan orang.

Kebeningan hati juga memunculkan rasa rindu pada keluarga yang tinggal di kampung halaman. Imam Syamsi Ali seorang dai kondang kelahiran Makassar yang sudah 9 tahun di New York, mengakui bahwa hari Lebaran merupakan momen yang paling sering mengingatkan dirinya ke masa lalu saat masih tinggal di Indonesia. "Setelah lama tinggal di sini, saya semakin jarang bertemu orang tua. Semoga Allah memberikan kesehatan kepada mereka," demikian kata imam yang menjadi kebanggaan Muslim Indonesia di New York dan sekitarnya. Kerinduan yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad Padang, seorang mantan diplomat PBB sekaligus pemuka agama di New York.

Memang sangat wajar, bagi orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia kerinduan semacam itu dapat muncul seketika. Lain halnya dengan anak-anak yang lahir dan dibesarkan di Amerika, mereka sepertinya tidak mengalami relung hati yang dirasakan orang tuanya. Suasana Lebaran bagi mereka adalah saat yang tepat untuk memohon maaf kepada orang tuanya dan melepas kangen dengan rekan-rekannya. Inilah sekelumit peristiwa dari negeri orang saat datang dan berakhirnya bulan Ramadan 1427 Hijriyah. Tentu di tempat lain juga merasakan kebahagiaan seperti yang dialami Muslim Indonesia di New York. Semoga hari kemenangan ini benar-benar membimbing kesadaran spiritual kita yang berwujud amaliyah jangka panjang. Mari kita tetapkan kehidupan pasca-Ramadan yang lebih baik. Selamat tinggal Ramadan.


(Dr. Rohmat Mulyana, Direktur Madrasah Development Center (MDC) Jawa Barat, Post-Doctor Visiting Scholar di Columbia University, AS.)***

1 comment:

Singgih Nata said...

Bapak Rohmat bersama Salah satu keluarga US-di-US. ( Urang Sunda di United States), yang sangat aktip dalam usaha mengembangkan Masjid di NYC.
Hebaaat euy !
MangSi